Pakar hukum tata negara Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar mengajukan permohonan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal capres-cawapres.
Permohonan ini diajukan Denny bersama dengan Zainal Arifin Mochtar pada Jumat (3/11). Mereka menilai norma pasal yang telah dimaknai Putusan MK itu tidak memenuhi syarat formil karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pemohon menilai permohonan ini juga memenuhi batas waktu pengajuan permohonan uji formil, yakni 45 hari setelah putusan diucapkan pada 16 Oktober 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, pemohon berpendapat bahwa keberlakuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai Putusan 90 sarat akan skandal. Hal itu, kata pemohon, diungkap oleh banyak sekali pemerhati hukum dan konstitusi serta tokoh dan pejabat nasional.
Menurut pemohon, kehadiran Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai Putusan 90 jelas-jelas adalah bentuk pelembagaan dinasti politik yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Hal itu juga dinilai merusak sistem hukum tata negara sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
"Menyatakan pembentukan Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang memaknai Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi salah satu petitum yang diajukan.
Pemohon juga mengajukan petitum dalam provisi pada permohonan ini, yakni MK menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023.
Selanjutnya, menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan pasal tersebut.
Lalu, memeriksa permohonan ini secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya.
Kemudian, Hakim Konsititusi Anwar Usman tidak ikut memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini.
Lihat Juga :![]() What The Fact! Politics Cak Imin Ungkap Opsi Gibran Cawapres Sudah Muncul Sejak Masih di KKIR |
Selain itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Russel Butarbutar dan Utami Yustihasana Untoro juga mengajukan permohonan formil pada pasal syarat usia minimal capres-cawapres itu. Permohonan itu diajukan Senin (13/11).
Russel dan Utami selaku pemohon menilai Perkara 90 itu cacat formil pemohon atau legal standing (kedudukan hukum) pemohon tidak jelas. Pemohon juga mengatakan Perkara 90 cacat prosedur, salah satunya terkait dengan proses penarikan permohonan.
Pemohon juga menyinggung Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan ada pelanggaran kode etik dalam penanganan Perkara 90.
Pemohon turut mengajukan petitum dalam provisi dalam permohonan ini, yaitu menunda pemberlakuan ketentuan pasal terkait syarat usia minimal yang telah dimaknai Putusan 90. Selain itu, menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang berhubungan dengan pasal tersebut.
Lalu, pemohon juga ingin permohonan ini diperiksa secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak lainnya.
Bunyi petitum permohonan ini juga meminta MK menyatakan pembentukan Putusan 90 yang memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu mengubah syarat usia minimal capres-cawapres yang semula paling rendah 40 tahun menjadi paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih lewat pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Karena putusan MK itu, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus keponakan Anwar Usman, bisa maju sebagai cawapres di Pilpres 2024 meski belum berusia 40 tahun.
Sejumlah pihak mengajukan protes terhadap putusan itu. Mereka juga mengajukan laporan dugaan pelanggaran kode etik kepada MKMK. Setelah diperiksa, Anwar dinilai terbukti melanggar kode etik. Hal itu yang membuatnya dicopot dari jabatan Ketua MK.
(pop/wis)