Aditya Heru Wardhana
Aditya Heru Wardhana
Saat ini bekerja sebagai Executive Editor CNN Indonesia. Mendalami isu lingkungan, transisi energi dan perubahan iklim. Penggila tempe dan hobi berenang.
KOLOM

Capres Mental Tempe, Nuklir dan Mimpi Swasembada Kedelai

Aditya Heru Wardhana | CNN Indonesia
Rabu, 27 Des 2023 10:00 WIB
Tempe adalah salah satu makanan kegemaran rakyat Indonesia. Namun ironisnya kedelai, justru masih diimpor. Butuh capres bermental tempe agar RI bisa swasembada.
Sebagian besar kedelai yang jadi bahan baku pembuat tempe di Indonesia masih diimpor. Butuh terobosan besar untuk bisa swasembada. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

"Anda dari Indonesia?'
"Betul."
"Makan tempe?"
"Suka sekali."
"Apa anda tahu kaitan tempe dengan nuklir?"
"What?"

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya hampir melonjak kaget dari kursi yang saya duduki. Di depan saya, pria paruh baya, seorang peneliti nuklir di International Atomic Energy Agency (IAEA) Marine Environment Laboratories, Monaco, malah terkekeh-kekeh.

Dari jendela ruangan kerja pria tersebut beberapa waktu lalu, terlihat sirkuit Monaco yang sempit dan berkelok-kelok. Di sirkuit jalan raya itu, nyaris tak ada ruang bagi para pilot jet darat untuk menyalip kendaraan di depannya. Karena itu merebut catatan waktu terbaik agar bisa menempati pole position adalah kunci bagi setiap pebalap Formula 1 agar bisa merajai balapan Monaco.

Gedung laboratorium itu berdiri di tepi pelabuhan Monaco yang termasyhur dipadati yacht milik orang-orang kaya.

Sejak 1961, laboratorium didirikan atas kesepakatan antara wilayah Monaco dengan IAEA. Kesepakatan ini berakar dari penghormatan Monaco terhadap Albert Honoré Charles Grimaldi atau Pangeran Albert I, penguasa Monaco sekaligus penjelajah laut.

Semasa hidupnya Pangeran Albert I terlibat dan mendukung penelitian kelautan. Koleksi Pangeran Albert I disimpan di Museum Oceanografi yang megah.

Tidak langsung menjelaskan kaitan tempe dengan nuklir, si peneliti malah mengajak saya untuk masuk ke salah satu ruangan laboratorium. Sebelum masuk, kami harus mengenakan jas lab, penutup kepala, sarung tangan dan pembungkus sepatu.

Di dalam ruang terdapat beberapa kolam yang berbentuk bulat. Mirip kolam pembibitan ikan lele, tapi isinya tentu bukan lele.

Sebelumnya para peneliti mengambil sampel beberapa jenis ikan dari lautan. Ikan-ikan bernasib sial itu lalu ditempatkan di kolam dan tak diberi makan alias dipaksa puasa.

Sementara para ikan berpuasa, para peneliti mencacah plastik menjadi serpihan kecil bahkan berukuran mikro plastik lantas ditembak dengan radioaktif.

Para peneliti itu tahu kapan para ikan itu sudah kelaparan dan saatnya berbuka puasa. Menu buka puasa para ikan tidaklah gorengan dan es timun suri melainkan mikroplastik yang sudah mengandung radioaktif.

Perut keroncongan membuat para ikan lahap menyantap mikroplastik yang mereka pikir (saya sampai detik ini tidak tahu apakah ikan berpikir) makanan mereka.

Haap haap. Lahap sekali. Perut kenyang tapi tak ada gizi dan nutrisi yang dibutuhkan ikan untuk bertahan hidup. Para ikan itu pun mati.

"Penderitaan" para ikan yang sial itu tak berhenti di situ. Bangkai mereka lalu diambil lalu difoto semacam kita melakukan foto rontgen.

Saya ditunjukkan hasil foto rontgen. Bangkai ikan dengan pendar warna hijau di sekujur tubuh mereka. Para peneliti menyimpulkan, serpihan plastik mengkontaminasi seluruh organ ikan tanpa kecuali, insang, daging, mata bahkan sampai sirip dan ekor. Para peneliti menyimpulkan plastik bisa beredar di seluruh tubuh ikan. Artinya jika kita, Homo Sapiens mengkonsumsi ikan yang tercemar plastik maka kita turut menelan plastik-plastik itu.

Lalu apa dong hubungan tempe dengan nuklir?

Baiklah, peneliti yang menanyai asal saya itu menjelaskan bahwa ketika kita mendengar kata atau atom maka yang terlintas pertama kali di benak manusia kebanyakan adalah bom, kehancuran, kengerian. Padahal nuklir atau atom atau radioaktif tidak hanya berkutat perkara bom.

"Pernahkah anda di-rontgen?" tanya si peneliti.

"Pernah beberapa kali saya patah tulang dan di-rontgen," jawab saya.

"Itu radioaktif. Banyak peralatan medis berbasis radioaktif," kata peneliti tersebut.

Si peneliti kembali bertanya "pernah kan anda menulis di kertas?" (Dasar peneliti, tukang nanya melulu, dalam hati saya)

"Sering dong Prof," karena tak tahu namanya, saya panggil saja ia Profesor.

Profesor menjelaskan bahwa radioaktif dipakai untuk mengukur ketebalan kertas. Pikiran saya lantas traveling, oh iya kasian para pekerja bagian quality control di pabrik kertas harus mengukur ketebalan kertas dengan penggaris tanpa bantuan radioaktif.

Sampai mendekati masa pensiun, belum selesai si petugas QC mengukur satu rim kertas.

Naaah ini, si Profesor lantas menjelaskan radioaktif juga digunakan untuk rekayasa genetik kedelai agar menghasilkan benih yang lebih tahan penyakit dan produktivitas tinggi.

Saya manggut-manggut.

Saya besar di Klaten, kota kecil perlintasan antara dua keraton besar, Solo dan Yogyakarta. Sejak kecil saya menggemari tempe, apapun menu olahannya. Tempe goreng, mendoan, kering tempe atau di Jakarta belakangan ku tahu disebut orek tempe, tempe keripik. You name it, sebut apa saja olahan tempe, jika ada di depan pasti saya lahap.

Ada juga tempe gembus yang terbuat dari ampas tahu. Tempe gembus biasanya ditusuk bersama potongan gajih atau lemak dan jeroan, menjadi Sate Kere. Semua bisa menebak lah mengapa disebut sate kere.

Ketika berkuliah di Malang, saya sering disebut si Iwak Tempe oleh ibu pemilik warung makan. Sebab setiap saya makan pasti berlauk tempe. Di Malang, iwak adalah sebutan untuk lauk. Jadi bisa iwak tempe, iwak tahu bahkan iwak kerupuk alias lauk kerupuk. Tak seperti di Klaten, iwak merujuk untuk ikan, dan juga daging. Iwak sapi.

"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Demikian pidato berapi-api, Bung Karno menyebut Indonesia bukanlah bangsa tempe. Sampai kini, para sejarawan masih sibuk menafsir apa maksud sebutan bangsa tempe tersebut.

Padahal, Bung Karno sendiri sangat menggemari tempe bacem. Saya yakin, semangat Bung Karno berkobar-kobar, bahan bakarnya berasal dari tempe yang kaya protein dan gizi.

Dalam lintasan sejarah pangan Indonesia, tempe memang sempat identik dengan kemiskinan karena orang yang makan tempe dianggap tak mampu membeli sumber protein yang lebih mahal seperti telur, ayam atau daging.

Badan Pangan Nasional menghitung, berdasarkan prognosa pangan nasional Januari-Desember 2023, produksi kedelai dalam negeri berada di kisaran 355 ribu ton, sedangkan kebutuhan mencapai 2,7 juta ton. Lalu dari mana menutupi kekurangan kedelai?

Kedelai Import

Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor kedelai Indonesia pada 2022 mencapai US$1,62 miliar. Angka ini naik 9,45 persen dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) US$1,48 miliar.

Amerika Serikat (AS) merupakan negara pemasok kedelai impor ke Indonesia pada 2022. Tercatat, nilai impor kedelai dari AS sebesar US$1,36 miliar setara 83,95 persen dari total nilai impor kedelai Indonesia. Jumlahnya sebanyak 1,92 juta ton.

RI juga masih mengimpor kedelai dari negeri jiran sebanyak 5,2 ribu ton dengan nilai US$2,73 juta.

Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) meneliti varietas kedelai sejak tahun 1987, menghasilkan varietas Muria dengan hasil rata-rata 1.8 ton/hektar. Pada 2010, BATAN luncurkan varietas Mutiara dengan hasil rata-rata 2.4 ton/hektar. Yang terbaru, pada 2021 BATAN mengeluarkan varietas Sugentan, kependekkan dari Super Genjah BATAN dengan hasil rata-rata 2.5 ton/hektar.

Peneliti BATAN, Arwin mengatakan varietas baru ini memiliki karakter lebih baik dibandingkan induknya yang telah dilakukan penyinaran radiasi gamma pada dosis 250 gray. Dibandingkan dengan induknya, Sugentan mempunyai beberapa keunggulan diantaranya umur tanamnya super genjah yakni sekitar 67-68 hari lebih cepat dibandingkan induknya yang mencapai umur antara 86-87 hari.

Pekerja memproduksi tempe berbahan kedelai impor di sentra industri rumahan, Kelurahan Kedung Waringin, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/2/2022). Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) berharap pemerintah setiap bulan mematok harga kedelai impor sehingga pergerakan harga tidak berubah setiap hari yang membuat sulit para perajin tahu dan tempe. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/rwa.Pekerja memproduksi tempe berbahan kedelai impor di sentra industri rumahan, Kelurahan Kedung Waringin, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/2). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/rwa.

Varietas unggul ada, tapi kok masih defisit?

Tiga belas tahun lalu, saat Indonesia dipimpin SBY, dua peneliti IPB: Gelar Satya Budhi dan Mimin Aminah mengeluarkan kajian berjudul 'Swasembada Kedelai: Antara Harapan dan Kenyataan'.

Dalam kajian tersebut dijelaskan kendala utama meningkatkan produksi kedelai adalah harga yang kurang menarik, dan keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha tani tersebut dipandang kurang memadai.

Oleh karena itu, dalam melakukan usaha tani kedelai, petani cenderung menghemat pengeluaran. Dengan penggunaan input yang minimal, produktivitas tanaman tidak dapat mencapai tingkat optimal.

Faktor lainnya yang kurang mendukung perkembangan kedelai lokal adalah adanya citra yang buruk dari kedelai lokal di mata pengolah kedelai, khususnya karena kandungan air yang masih terlalu tinggi.

Ketersediaan lahan juga menjadi masalah. Kedelai berkompetisi dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sangat gencar untuk mencapai target perluasan. Apalagi pengembangan perkebunan kelapa sawit didukung oleh investor-investor besar, yang memiliki kemampuan jauh lebih kuat, mengingat perkebunan sawit memiliki prospek keuntungan yang lebih baik.

Akibatnya, banyak lahan tanaman pangan khususnya di pulau Sumatera yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit oleh pemiliknya.

Waktu terus melaju, presiden berganti tapi tak bisa juga kita mencapai swasembada kedelai. Padahal semakin banyak mulut yang harus diberi makan. Termasuk mulut saya yang rakus akan tempe.

Di musim copras-capres ini, saya sedang mencari capres bermental tempe, capres yang berani berjanji, mewujudkan swasembada kedelai demi menjamin ketersediaan tempe bagi segenap rakyat Indonesia.

(sur/sur)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER