Greenpeace Indonesia menyesalkan debat calon wakil presiden (cawapres) pada Minggu (21/1) tidak menunjukkan komitmen tiap pasangan calon untuk mengatasi krisis iklim.
Menurut Greenpeace, para cawapres gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim yakni alih fungsi lahan dan sektor energi dengan penggunaan batu bara yang masif.
"Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden," ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak melalui siaran pers dikutip Senin (22/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Leonard berpendapat Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD juga tidak tegas menyatakan komitmen untuk keluar dari pola yang sama.
Dia menyebut ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah, mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan berbagai konflik agraria.
Mulai dari merampas hak-hak masyarakat adat, lokal, dan pesisir, merusak hutan dan lahan gambut, mencemari lingkungan, hingga memperparah krisis iklim.
Dalam isu reforma agraria, kata Leonard, para cawapres tidak membahas penyelesaian sejumlah konflik agraria akibat Proyek Strategis Nasional (PSN). Gibran dan Mahfud misalnya, hanya sebatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah.
Leonard mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mengungkapkan 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak dibanding tahun sebelumnya. Konflik tersebut meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.
"Ketiga cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat. Janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika," kata dia.
"Tanpa mencabut Undang-undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah masyarakat adat, janji itu cuma akan jadi omong kosong saja," sambungnya.
Leonard menambahkan ruang hidup masyarakat adat terus tergerus akibat pembukaan lahan dan deforestasi. Menurut dia, pernyataan Muhaimin tentang reforestasi untuk mengatasi deforestasi tidak menjawab persoalan.
Kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali.
"Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi," ucap Leonard.
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sepanjang 2015-2022 angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022).
Sepanjang 1992-2019, lanjut Leonard, terdapat 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Papua yang dibuat Menteri Kehutanan. Total pelepasan kawasan hutan dimaksud seluas 1,5 juta hektare dan 1,1 juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut.
Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut juga masih terjadi setiap tahun. Pada 2023, angka kebakaran lahan dan hutan mencapai 1,16 juta hektare.
"Tapi sayangnya luput dari pembahasan debat cawapres," kata dia.
Para cawapres, tambah Leonard, juga tidak menyinggung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut. Menurut dia, perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat.
"Memang ada yang menyinggung tentang masyarakat pesisir dan nelayan, tapi mereka tidak menjabarkan bagaimana agenda mitigasi dan adaptasi iklim bersama warga yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil-yang makin terjepit dampak krisis iklim," tandasnya.
(ryn/tsa)