Bawa Obor-Jalan Mundur, Aktivis 98 Lintas Kampus Yogya Kritik Jokowi

CNN Indonesia
Jumat, 09 Feb 2024 09:45 WIB
Aktivis 98 dari berbagai kampus di Yogyakarta
Aksi jalan mundur aktivis 98 di Yogyakarta sebagai simbol kemunduran demokrasi di era Jokowi. (CNN Indonesia/Tunggul)
Yogyakarta, CNN Indonesia --

Puluhan orang yang mengatasnamakan diri sebagai aktivis reformasi 1998 melakukan aksi jalan mundur sambil membawa obor ke Istana Istana Kepresidenan atau Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (8/2) malam. Mereka menyuarakan keprihatinan atas nasib demokrasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pantauan CNNIndonesia.com, para peserta sebelum melakukan aksi berkumpul di seberang Alun-alun Utara Yogyakarta. Beberapa yang disebut hadir adalah para aktivis alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Sanata Dharma (USD), Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

Seluruh peserta aksi kompak mengenakan busana serba hitam. Sambil membawa obor dan diiringi lagu 'Darah Juang', mereka perlahan melangkah mundur menuju depan Gedung Agung Yogyakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka mengambil rute melewati Museum Sonobudoyo, Kantor Cabang Utama BNI, lalu menyeberangi simpang empat Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

"Omong kosong kalau yang dikatakan hari ini tidak melanggar demokrasi, omong kosong kalau yang dikatakan hari ini tidak melanggar etika," kata Titok Hariyanto, aktivis eks UGM saat berorasi di depan Gedung Agung.

"Kalau dulu lawan kita rezim yang otoriter, sekarang lawan kita rezim yang berdiri di tengah demokrasi. Rezim despotik, di atas otoritarian, harus kita lawan, jangan tinggal diam," ujar In'am eL Mustofa, aktivis eks UIN Sunan Kalijaga.

Titok Hariyanto, salah satu inisiator kegiatan menjelaskan, aksi jalan mundur menjadi simbolisasi oleh para aktivis reformasi 1998 atas demokrasi di era pemerintahan Jokowi yang mereka anggap telah mengalami kemunduran.

Puluhan orang yang mengatasnamakan diri sebagai aktivis reformasi 1998 melakukan aksi jalan mundur sambil membawa obor ke Istana Istana Kepresidenan atau Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (8/2) malam. Mereka menyuarakan keprihatinan atas nasib demokrasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).Foto: CNN Indonesia/Tunggul
Puluhan orang yang mengatasnamakan diri sebagai aktivis reformasi 1998 melakukan aksi jalan mundur sambil membawa obor ke Istana Istana Kepresidenan atau Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (8/2) malam. Mereka menyuarakan keprihatinan atas nasib demokrasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut dia, pelanggaran etik oleh dua lembaga tinggi yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara pararel dalam konteks kasus sama, yakni menyangkut persyaratan dan pendaftaran capres/cawapres 2024 telah mencederai, juga mengkhianati proses pelembagaan demokrasi yang susah payah diperjuangkan sejak era gerakan Reformasi 1998.

Menurutnnya nilai-nilai etika moral yang menjadi sumber rujukan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diingkari. Pemicunya, semua karena adanya upaya pelanggengan kekuasaan dinasti politik keluarga Jokowi.

Lanjut dia, relasi kuasa ini pula yang menurut para aktivis 98, pada gilirannya mengancam kehidupan demokrasi Indonesia dan memunculkan tirani politik mencengkeram.

"Kita harus memanfaatkan momentum Pemilu nanti untuk memberikan satu pelajaran kepada siapapun yang sekarang ini menodai demokrasi dan mencederai semangat reformasi 98 untuk kembali kepada semangat reformasi 98," katanya.

Titok melanjutkan, reformasi '98 bukan sekadar soal melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan, melainkan juga membangun suatu nilai baru yang lebih menghargai kebebasan, memberikan ruang lebih demokratis kepada masyarakat. Termasuk, mewujudkan pemilu berasaskan luber jurdil, tanpa indikasi keberpihakan pemerintah kepada kontestan.

"Jelas sekali bahwa pemerintahan yang sekarang berkuasa, dia sedang berpihak pada pasangan yang sedang berkontestasi. Itu harus diingatkan," tegas Titok yang juga menyinggung soal isu politisasi bansos untuk memuluskan jalan Gibran Rakabuming, putra Jokowi, memenangi Pilpres 2024.

Massa dalam aksinya membawa obor sembari mengarak keris pusaka luk 11 tangguh Pajang Mataram. Tiap-tiap elemen dalam aksi ini merupakan simbolisasi aspirasi yang mereka gaungkan.

Seperti Tanjek Yoni sebagai pusaka atau kekuatan yang dipercaya untuk menyingkirkan angkara murka dan keserakahan.

Sementara Alun-alun Utara dipilih menjadi titik awal keberangkatan karena sejarah pelataran Keraton Yogyakarta sebagai tempat terselenggaranya Pisowanan Ageng tanggal 20 Mei 1998. Peristiwa ini adalah penanda era reformasi di Kota Gudeg.



Kecewa Budiman hingga Andi Arief

Titok pribadi merasa kecewa dengan para aktivis masa Orde Baru macam Budiman Sudjatmiko atau Andi Arief yang kini dianggapnya malah memilih berada di barisan pendukung politik dinasti.

Merasa pernah seperjuangan, Titok merasa Budiman yang kini didapuk selaku Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran sudah melupakan sejarah hanya demi kepentingan kekuasaan.

"Melihat politik itu di dalamnya tidak semata-mata kekuasaan, tidak semata-mata ekonomi. Politik itu juga ada satu value yang diperjuangkan, nah beberapa teman yang melihat itu (keputusan Budiman cs) kecewa, termasuk saya sebenarnya kecewa dengan sikap teman-teman yang sekarang ini bergabung ke pasangan 02," imbuhnya.

Gelombang kritik civitas academica berbagai perguruan tinggi, kata Titok, seharusnya cukup untuk membuka mata semua kalangan, termasuk Budiman cs dan parpol akan adanya ketidakberesan dalam berdemokrasi di negara ini.

Istana sudah tak bisa lagi berpura-pura tuli, atau bahkan lebih kejamnya lagi melabeli gerakan akademisi sebagai suatu bentuk penggiringan opini.

"Apakah itu sebuah settingan, apakah itu sebuah rekayasa? Bagaimana profesor, guru besar yang selama ini mereka menjaga jarak dengan kehidupan politik praktis, tiba-tiba berbicara. Pasti kan ada sesuatu, fenomena sosial yang menggerakkan mereka. Ini harus dilihat secara obyektif dan jernih," tambah Widihasto Wasana Putra, aktivis eks UAJY.

"Khawatir kami sebenarnya kalau nanti itu tidak didengarkan oleh pemerintah terutama Presiden Jokowi ini akan memunculkan aksi perlawanan yang akan semakin meluas karena sebenarnya keresahan yang dirasakan oleh masyarakat itu sudah mulai muncul sejak keputusan MK, ketika MK itu meloloskan Gibran," pungkasnya.

(kum/sur)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER