Hitung cepat atau quick count menjadi salah satu metode penghitungan yang digunakan saat pemilihan umum (pemilu).
Namun, bagaimana cara metode ini dilakukan? Dan, apa bedanya dengan hasil rekapitulasi suara atau real count pemilu yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan baru akan dirilis secara bertahap setelah pemungutan suara dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menerangkan Quick count hadir untuk memberi gambaran terkait perolehan suara yang didapatkan oleh setiap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Dia menjelaskan quick count dilakukan dengan pengambilan sampel data di Tempat Pemungutan Suara (TPS) oleh surveyor.
Jumlah data yang diambil harus cukup besar agar bisa cukup representatif. Pengambilan sampel juga menggunakan kaidah-kaidah tertentu alias tak asal-asalan.
"Syarat legitimasi dari quick count biasanya samplingnya harus jauh lebih besar dibandingkan survei [politik]. Misalnya saja, ketika kami melakukan survei hanya memerlukan 1.200 responden untuk skala nasional, tetapi kalau untuk quick count harus mencapai batas minimum yang cukup beragam," ujarnya Dedi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (12/2).
"Jadi bisa berkali-kali lipat lebih besar, semakin besar itu akan semakin bagus," tambahnya.
Sampel data yang diambil surveyor adalah hasil penghitungan suara yang ada di TPS. Data tersebut kemudian dilaporkan ke sistem yang telah dibangun oleh masing-masing lembaga survei.
"Jadi quick count itu adalah hitungan real di TPS (hasil penghitungan di TPS), bukan hitungan asumsi. Hanya saja quick count tidak dilakukan di 100 persen TPS," tutur Dedi.
Menurut Dedi, jumlah sampel paling besar yang mungkin dikumpulkan lembaga survei adalah 10 persen dari total TPS. Pasalnya, biaya operasional untuk melakukan quick count tidaklah murah.
Usai dilaporkan ke sistem oleh surveyor, lembaga survei kemudian mengolah data-data sampel tersebut untuk kemudian dirilis.
Lihat Juga : |
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan 24/PUU-XVII/2019 mengatur quick count boleh disiarkan dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
Data quick count yang dirilis lembaga-lembaga survei bisa terus berubah selama masih ada data yang dilaporkan oleh surveyor. Hal ini mungkin terjadi karena laporan dari TPS tidak dilakukan secara serentak oleh para surveyor.
Lebih lanjut, Dedi menyebut penghitungan dengan metode quick count memiliki margin of error, karena tidak menyasar 100 persen TPS. Seperti survei pada umumnya, margin of error tersebut bergantung pada sampel yang diambil.
"Sebetulnya sama saja karena quick count kan tidak menyasar 100 persen TPS, jadi dari sisi margin of error sebetulnya sama saja, karena proses pengambilan sampling, penentuan tempat, penentuan TPS-nya sama dengan yang dilakukan oleh survei, hanya saja PSU-nya atau sampling unitnya lebih besar dibandingkan dengan survei biasa kira-kira begitu," ujar Dedi ketika ditanya soal perbandingan margin of error exit poll dan quick count.
Secara sederhana, quick count mencoba mewakili hasil pemilu yang sebenarnya, atau real count, dengan mengumpulkan data di tempat-tempat yang dianggap bisa mewakili keseluruhan suara pemilih Indonesia. Maka dari itu, hasil quick count dari masing-masing lembaga survei bisa berbeda tergantung pada sampel yang diambil.
(lom/kid)