Partai Gerindra tak mampu memenangkan pemilu legislatif meski sudah mencalonkan ketua umumnya, Prabowo Subianto, sebagai calon presiden (capres) di 2024. Perolehan suara Gerindra masih kalah dari Partai Golkar di sejumlah quick count.
Quick count Litbang Kompas mencatat suara Gerindra 13,51 persen dan duduk di peringkat ketiga. Di saat yang sama, Golkar memperoleh 14,63 persen suara.
Hasil serupa juga ditampilkan Voxpol Center Research and Consulting. Quick count lembaga itu menyebut Golkar memperoleh 14,76 persen suara, sedangkan Gerindra cuma 13,54 persen suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Quick count tidak menjadi rujukan sah hasil akhir Pemilu Serentak 2024. Hasil sah adalah rekapitulasi suara berjenjang manual yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU menjadwalkan rekapitulasi beres pada 20 Maret 2024.
Pada Pemilu Serentak 2019, Gerindra ada di peringkat kedua dengan perolehan 17.596.839 suara atau 12,57 persen suara sah. Golkar memperoleh 17.229.789 suara atau 12,31 persen suara sah.
Peneliti Charta Politika Ardha Ranadireksa menilai fenomena ini terjadi karena dua faktor. Pertama, Golkar berhasil mengasosiasikan diri dengan Jokowi.
Hal itu dilakukan dengan menjadi partai politik pertama yang mendeklarasikan Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, sebagai calon wakil presiden. Baru setelah itu Prabowo mendeklarasikan Gibran sebagai cawapres.
Selain itu, Golkar beberapa kali memperlihatkan pertemuan ketua umumnya, Airlangga Hartarto, dengan Jokowi. Mereka juga memanfaatkan beberapa momentum, seperti saat Jokowi berdasi kuning, untuk melekatkan diri.
"Dalam kasus Gerindra dengan Golkar, saya lebih melihat memang Gerindra-nya solid sebagai pendukung Prabowo, tetapi memang Golkar juga di sisi lain dengan dia yang pertama kali mencalonkan Gibran," kata Ardha saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (19/2).
Ardha mengatakan sebenarnya Gerindra juga mendapat limpahan suara dari pencalonan Prabowo. Namun, Gerindra tidak punya faktor kedua.
Faktor kedua adalah mesin partai yang solid dan mengakar. Ardha mengatakan Golkar punya mesin partai paling baik karena sudah berkuasa sejak Orde Baru.
"Gerindra belum memiliki struktur sekuat Golkar. Ketika ada perintah dari pusat untuk memenangkan Prabowo, oke. Tetapi untuk memilih partai, mungkin kemampuan, jaringan, struktur yang ada itu lebih kuat Golkar," ujarnya.
Terpisah, Direktur Riset Poltracking Arya Budi mengatakan kemenangan Golkar atas Gerindra merupakan salah satu anomali di Pemilu Serentak 2024. Dia berkata hal ini disebabkan split ticket voting.
Arya menjelaskan split ticket voting adalah fenomena pemilih tidak serta-merta memilih partai politik pengusung calon presiden. Hal ini menggambarkan bagaimana suara Gerindra stagnan meskipun ketua umum mereka, Prabowo, menang pilpres dengan suara hampir 60 persen.
Dia menyebut split ticket voting didorong oleh fenomena pemilih Indonesia memilih caleg tanpa memperhatikan partai asalnya. Hal itu terjadi sejak sistem proporsional terbuka diterapkan pada 2009.
"Sejak 2009, pemilih personal vote proporsinya semakin naik. Tahun 2019, 75 persen dari suara partai adalah suara caleg. Jadi di quick count kemarin kita ada data exit poll 80-an persen (dari suara partai adalah suara caleg)," ujar Arya saa dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (19/2).
"Konsekuensinya partai-partai dengan jangkar caleg yang kuat akan dapat insentif lebih besar, terlepas dari capresnya. Hal ini yang bisa jadi menjelaskan di PDIP maupun Golkar bisa jadi calegnya kuat," ujarnya.
Bukti lain dari simpulan tersebut adalah perbandingan suara PDIP dengan calon presidennya, Ganjar Pranowo. PDIP menang pileg dengan suara sekitar 18 persen. Sementara itu, Ganjar cuma duduk di peringkat ketiga dengan suara belasan persen.
"Kita tahu Ganjar di pilpres itu nomor tiga, bahkan suaranya bisa jadi sama atau lebih kecil sedikit dari suara partai. Sementara suara capres biasanya hampir selalu lebih tinggi dari itu," ucap Arya.
(dhf/tsa)