Dewi Safitri
Dewi Safitri
Lulus studi Science Tech in Society dari University College London dan sekarang bekerja untuk CNN Indonesia. Penggemar siaran radio dan teka-teka silang.
KOLOM

Banjir Demak, Abai Prioritas, dan Ketidaksiapan Hadapi Krisis Iklim

Dewi Safitri | CNN Indonesia
Rabu, 27 Mar 2024 12:31 WIB
Banjir Demak dan beberapa wilayah di Pantura jadi cermin bagaimana kita tidak siap mengahdapi krisi iklim dan bencana bukan jadi prioritas.
Banjir turut merendam kawasan Alun-alun Demak, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/AJI STYAWAN)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

Wiwin baru saja berbuka puasa dengan nasi putih, tempe goreng dan sambal saat dihampiri jurnalis CNN Indonesia di luar tenda pengungsiannya, Rabu (19/03).

Tenda Wiwin adalah satu dari ratusan yang tiba-tiba muncul di sepanjang jalan raya yang tadinya merupakan jalan utama jalur Pantura, di desa Karangwulan Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak. Semua tenda seadanya, serba darurat dan gelap, tanpa cahaya listrik.

Meski jelas mengenaskan, nasib Wiwin masih lebih baik ketimbang delapan warga yang meninggal dunia - semuanya karena banjir merendam desa dan kampung di Pekalongan, Semarang, Pati, Kudus, Jepara sampai Purwodadi pekan kedua Maret 2024.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang kenalan lama yang tinggal di Demak bercerita, warga memang tidak benar-benar asing dengan banjir. Selain benar-benar hidup berdampingan dengan laut, sebagian penduduk yang tinggal di pinggir kali Wulan sudah biasa kebanjiran jika curah hujan sedang tinggi-tingginya. Sementara tanggul tak sanggup mengunci arus air.

Tapi belum pernah bencana sehebat ini terjadi. Enam tanggul sekaligus bobol diterjang air, merendam 11 kecamatan dan mengganggu hajat hidup 93 ribu warga, seperti Wiwin dan keluarganya.

Fokus pengelolaan bencana kini diarahkan pada perbaikan tanggul, padahal sebagian diantaranya juga baru saja diperbaiki akibat jebol pada bulan Februari lalu.

Dalam video-video yang beredar, sawah-sawah yang sedang menunggu padi menua untuk dipanen juga tak aman dari rendaman air. Semua seperti laut sejauh mata memandang.

Pekan sebelumnya, banjir juga merendam sebagian wilayah Semarang. Beberapa perumahan longsor, bahkan jatuh dua korban jiwa. Di Grobogan, dilaporkan dua korban tewas akibat terseret arus banjir.

Sampai kapan terus berlanjut?

Sains sudah jelas memberi petunjuk, tanpa tindakan serius banjir akan terus-menerus dan makin parah melanda Jawa Tengah, terutama di jalur Pantura.

Seperti Jakarta Utara, pesisir Pantura adalah titik paling rawan dalam krisis iklim di Jawa. Penyebabnya ada dua:land subsidence(tanah ambles) akibat eksploitasi air tanah gila-gilaan dan uapan air laut (rob) yang jangkauannya makin luas seiring es yang mencair di kutub utara.

Soal eksploitasi air tanah ini, sudah terjadi sejak Indonesia merdeka dan tak terkendali sampai sekarang. Pembangunan dan ledakan populasi membuat kebutuhan air tinggi, sementara kemampuan negara memberi layanan pipanisasi air bersih sangat terbatas. Akibatnya air tanah dipakai tanpa perhitungan.

Ini fakta-fakta mendasar, tidak ada ahli yang tak paham dengan situasi ini. Seperti pakar, media juga sudah berbusa-busa membahas ini dalam setidaknya 20 tahun terakhir.

Kenapa masih terus-terusan kejadian kebanjiran. Bahkan sepanjang 2024 hampir tak ada satu hari pun Indonesia benar-benar bebas dari banjir, sampai hari ini?

Karena menghindari banjir bukan prioritas kita. Mungkin tepatnya banjir, longsor atau krisis iklim belum jadi prioritas pemerintah.

Acuan PBB untuk mengatasi krisis iklim adalah adaptasi dan mitigasi. Mitigasi agar bencana ke depan tak terulang, atau setidaknya tak memakan korban sebanyak sebelumnya. Sementara adaptasi dilakukan agar komunitas tetap bisa bertahan dalam iklim yang makin tidak ramah pada manusia.

Kenyataannya, dua-duanya minimal dilakukan. Ambil contoh soal penurunan muka tanah atauland subsidence. Penelitian menunjukkan per tahun tanah Pantura terus turun sampai 20 cm, yang berarti tiap kali laut pasang air pasti akan membanjiri wilayah sekitarnya. Cara terbaik menghentikan tanah terus turun adalah dengan menghentikan pengambilan air tanah di wilayah itu sama sekali, atau kalau terpaksa tidak bisa, ya kurangi sampai maksimal.

Ini tidak terjadi. Populasi, industri, dan infrastruktur - semua masih mengambil air tanah dengan leluasa di titik kritis Pantura.

Ditambah dengan alat pengendali banjir yang tak dipelihara dan disiapkan dengan layak, maka bencana dipastikan meluas. Enam bendungan yang jebol di Demak, misalnya, sebagian warisan dari era kolonial Belanda yang butuh pemeliharaan sungguh-sungguh.



Dalam kasus banjir Semarang, lahan perbukitan dan daerah resapan pinggir sungai yang rentan longsor dan mestinya jadi lokasi penangkap air justru masif jadi perumahan. Bahkan sebuah peta menunjukkan satu perumahan membangun rumah konsumen di atas jalur aliran sungai yang diuruk. Akibatnya ada titik tanah perumahan ambles hingga 12 meter.

Ini bukan isu spesifik Semarang. Seperti dalam isu air tanah, gejala aturan 'menunjuk ke kanan kenyataan jalan ke kiri', sudah berlangsung puluhan tahun di seluruh Indonesia. Bahkan kalau aturannya terlalu sulit dicapai, bisa saja dikoreksi di tengah jalan.

Contoh terakhir adalah pemenuhan capaian bauran sumber energi (energy mix) antara fosil dan EBT yang semula ditargetkan 23% tahun 2025, kini dikoreksi jadi 17% saja. Bukan cuma angka yang makin kecil, target ini juga menjadikan capaian Indonesia jadi makin mini dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia (yang targetnya 31% pada 2025).

Ancaman La Nina

Belum selesai dengan urusan perbanjiran duniawi di Jawa Tengah, BMKG sudah mengeluarkanalertbaru soal hadirnya La Nina sekitar pertengahan 2024.La Nina dipercaya akan membawa hujan lebih sering, risiko banjir, suhu udara lebih rendah di siang hari dan banyak badai tropis.

Seperti El Nino yang habis-habisan menghajar Indonesia setahun terakhir dengan suhu tinggi, kekeringan dan kebakaran di mana-mana, La Nina dikhawatirkan akan memperburuk problem hidrometeorologi, mengganggu mobilitas ekonomi sampai gagal panen.

Masih ada 3-4 bulan untuk bersiap sedikitnya untuk menghindari situasi seperti Demak saat ini, terulang lagi. Itu tadi masalahnya: apa isu banjir ini akan jadi prioritas kita?

(sur/sur)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER