Pemerhati pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) Darmaningtyas menilai pelaksanaan tur studi atau study tour lebih baik ditiadakan buntut insiden kecelakaan maut rombongan SMK Lingga Kencana Depok di Ciater, Subang, Jawa Barat.
"Saya sendiri berharap program study tour bagi pelajar jarak jauh lebih baik disetop karena lebih banyak mudaratnya untuk pendidikan daripada manfaatnya," kata Darmaningtyas dalam keterangannya, Kamis (16/5).
Menurutnya, program study tour adalah bagian dari kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan. Program tersebut tidak meningkatkan kualitas pendidikan, namun cenderung menimbulkan beban baru bagi orang tua murid, terutama bagi murid yang tidak mampu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan insiden kecelakaan maut rombongan SMK Lingga Kencana Depok merupakan kecelakaan yang kesekian kalinya terjadi pada siswa saat melaksanakan study tour. Peristiwa itu memiliki pola yang sama yakni terjadi pada saat akan menuju pulang.
"Mengapa kecelakaan-kecelakaan rombongan study tour tersebut terjadi pada saat akan balik? Pertama, pengemudi sudah lelah, sehingga kehilangan konsentrasi atau fokus," katanya.
Kemudian, rombongan study tour juga sudah lelah sehingga mereka sudah tidak peduli lagi dengan kondisi pengemudi maupun kondisi lalu lintas. Mereka beranggapan semua baik-baik saja.
Selain itu, kendaraan yang mereka tumpangi juga lelah karena minimnya perawatan setelah menempuh jarak yang cukup jauh. Perusahaan otobus tak ada yang menyertakan montir saat busnya disewakan untuk mengangkut rombongan.
Sehingga ketika sampai lokasi tujuan wisata, armada tidak mendapatkan pengecekan secara teknis. Karena itu, kata dia, wajar apabila setelah dijalankan oleh pengemudi diketahui ada masalah.
"Ini terjadi pada hampir semua bus yang digunakan untuk wisata. Apa yang dialami oleh rombongan SMK Lingga Kencana Depok sebetulnya tidak jauh dari itu. Persoalannya lebih kompleks lagi karena ternyata pemilik tidak memiliki izin operasional dan uji kirnya sudah kedaluwarsa," kata Darmaningtyas.
Bukan hanya itu, bus juga mengalami perubahan bentuk agar terlihat lebih modis sesuai dengan selera sekarang. Padahal, perubahan bentuk tersebut ada hubungannya dengan kestabilan armada itu sendiri.
Darmaningtyas mengatakan berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka tanggung jawab atas kecelakaan tersebut tidak dapat dibebankan kepada pengemudi saja, tapi juga kepada teknisi dan pemilik armada.
"Justru tanggung jawab terbesar ada pada pemilik armada karena lalai menjalankan kewajibannya yang amat mendasar, yaitu uji kir," ujarnya.
Ia menilai Direktorat Binamarga Kementerian PUPR juga harus bertanggung jawab karena lalai tidak membangun jalur penyelamat.
"Seperti dikemukakan oleh pengemudi yang terguling, dia sebetulnya bermaksud ingin mengarahkan busnya di jalur penyelamat, tapi ternyata tidak ada," tandasnya.
Ia menilai Dinas Perhubungan setempat juga tidak menjalankan fungsi kontrolnya. Dishub di setiap daerah mestinya mendata semua armada yang ada di wilayahnya, baik bus AKAP maupun bus pariwisata yang menjadi domain Kementerian Perhubungan.
"Itulah sebabnya Dishub pun punya tanggung jawab untuk melakukan kontrol terhadap semua angkutan umum yang beredar di wilayahnya. Jangan saling lempar tanggung jawab. Kementerian Perhubungan melalui BPTD (Balai Pengelola Transportasi Darat) juga dapat melakukan pengawasan langsung di lapangan," tegasnya.
Darmaningtyas menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat yang hendak menyewa bus untuk wisata.
"Jangan hanya melihat dari satu sisi saja, harga termurah, tapi juga dari aspek keselamatan: berizin tidak, laik jalan tidak, sopirnya kompeten tidak, apakah tersedia dua sopir untuk satu perjalanan wisata atau tidak," tegasnya.
(lna/pmg)