Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka angkat bicara soal Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) yang melonjak drastis.
"Pasti banyak orang tua yang pengen anaknya kuliah, selesai S1," kata Gibran saat berbincang dengan awak media di Solo, Senin (20/5).
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gibran memaklumi keputusan sejumlah perguruan tinggi untuk menaikkan UKT dan IPI merisaukan publik. Ia mengetahui banyaknya aksi demonstrasi yang digelar mahasiswa untuk memprotes keputusan tersebut.
Ia menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk membicarakan isu tersebut.
"Ya itu nanti kami tindaklanjuti lagi ya. Kita koordinasi dengan rektor-rektor, dengan kementerian juga. Banyak keluhan itu. Anak-anak muda terutama," kata Gibran.
Gibran tidak menjamin kenaikan UKT dan IPI bisa dibatalkan. Menurutnya, keputusan tersebut tergantung masing-masing perguruan tinggi dan Kemdikbudristek.
"Biar dibahas oleh kementerian terkait dulu. Ditunggu aja. Tapi kalau saya pengen mencetak sarjana sebanyak mungkin," katanya.
Di sisi lain, Gibran menyinggung berbagai program bantuan dari Pemerintah untuk para mahasiswa yang sudah berjalan selama ini. Ia mengatakan pihaknya ingin program-program tersebut dikelola dengan lebih maksimal.
"Misalnya KIP Kuliah, atau bantuan lain seperti LPDP. Kita pengen nanti ini bisa lebih tepat sasaran, kalau bisa cakupannya juga diperluas. Kita pengen lebih banyak lagi mencetak sarjana-sarjana," katanya.
Sebelumnya, Kemendikbudristek telah menetapkan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbudristek.
Dalam aturan itu, kelompok UKT 1 sebesar Rp500 ribu dan UKT 2 sebesar Rp1 juta menjadi standar minimal yang harus dimiliki PTN. Selebihnya, besaran UKT ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi.
Kebijakan tersebut memicu protes dari mahasiswa di Universitas Indonesia (UI), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Negeri Riau (Unri), hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan hingga Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Merespon protes tersebut, Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie menyatakan pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan. Artinya, pendidikan tinggi tidak termasuk dalam wajib belajar 12 tahun.
(syd/fra)