Pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengakui saat ini muncul anggapan yang menilai bahwa demokrasi di Indonesia ini tengah berjalan layaknya proses menuju lahirnya ideologi nazisme dan fasisme.
"Ada yang mengatakan demokrasi kita itu sebenarnya mirip-mirip sekarang apa yang terjadi menjelang lahirnya nazisme dan fasisme, satu sistem pemerintahan yang otoriter tapi dibungkus oleh proses-proses demokrasi," kata Mahfud saat menjadi pembicara di UII, Sleman, DIY, Rabu (22/5).
Menurut Mahfud, Nazisme lahir melalui proses pembenaran di mana negara penganut ideologi politik ini mendorong dewan rakyat memberikan sebuah legitimasi kekuasaan tak terbatas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud menyebut Indonesia tak sepenuhnya persis mengalami hal demikian. Akan tetapi, ancaman ke arah sana itu ada.
"Kita mungkin sedang tidak seperti itu persis, tapi sedang menghadapi ancaman hal-hal seperti itu karena sekarang ini sekurangnya saya sering mengatakan itu, sekarang ini proses-proses 'ketidakdemokrasian' dalam perjalanan negara kita ini ditempuh melalui proses demokrasi," ujar Mantan Ketua MK itu.
Mahfud berujar, proses terjadinya pelanggaran hukum di Indonesia didahului pembuatan aturan hukum. Konsep the rule of law, yang mana hukum memegang kedudukan tertinggi dalam penyelenggaraan suatu negara hukum telah mengalami pergeseran.
Menurut Mahfud, konsep the rule of law mengalami pergeseran menjadi the rule by law. Artinya, otoritas pemerintahan berada di atas hukum, dan memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan hukum sesuai keinginan mereka.
"Kalau penguasa yang menentukan sesuatu lalu menentukan hukumnya agar segala sesuatu bisa tercapai, itu yang disebut the rule by law. Saya ingin ini, aturannya belum ada, buatkan agar menjadi ada," papar mantan cawapres itu.
"Itu sebabnya dulu dalam disertasi saya tahun 93 itu saya sebut proses hukum di Indonesia yang otoritarian itu the rule of law menjadi hukum yang konservatif melalui pembenaran hukum, pembenaran aturan hukum, artinya positivistik interpretatif. Jadi segala sesuatunya dipositifkan dulu, dijadikan hukum positif dulu lalu jalan," sambung eks Menko Polhukam RI itu.
Mahfud mencontohkan sebuah praktik pembuatan kebijakan secara koruptif oleh seorang kepala negara yang memfasilitasi obsesi anaknya menguasai industri mobil nasional. Namun demikian Mahfud tak merinci sosok tersebut.
"Buatkan aturan bahwa presiden diminta membuat aturan tentang industri mobil nasional, dimasukkan di GBHN (Garis Besar Haluan Negara). Masuk di GBHN, sesudah di GBHN lalu dibuat aturan pelaksanaannya," ucapnya.
Dengan landasan aturan itu, industri mobil nasional menjadi bebas pajak impor kandungan luar maupun lokal. Perusahaan bebas memproduksi semau mereka tanpa dikenai pungutan wajib.
"Itu positivis instrumentalistik, sebuah keinginan dipositifkan sebagai instrumen sehingga menjadi benar. 'Oh itu benar, itu melanggar aturan pak, nggak udah benar, uda dibenarkan kok oleh MK, sudah dibuat kok oleh DPR, sudah ada Perpresnya kok sudah ada PP nya kok'. Nah itu proses yang lebih halus dari lahirnya nazisme dan fasisme," pungkasnya.