Jakarta, CNN Indonesia --
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi mengusung Anies Baswedan-Sohibul Iman sebagai bakal calon gubernur-wakil gubernur Jakarta di Pilkada 2024.
Presiden PKS Ahmad Syaikhu mengatakan keputusan tersebut diambil dalam rapat yang digelar pada Kamis (20/6). Menurutnya, pengurus pusat partai mempertimbangkan sejumlah hal ketika memutuskan duet Anies-Sohibul.
Syaikhu menyebut salah satu pertimbangan utama pihaknya adalah pasangan yang diusung memiliki pengalaman kepemimpinan, baik di eksekutif maupun legislatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertimbangan lain yang diperhitungkan yaitu rekam jejak, serta kemampuan memimpin pemerintah daerah. "Serta peluang menangnya, probability to win-nya besar," kata Syaikhu di Jakarta kemarin.
Anies dan Sohibul sama-sama pernah menjadi rektor Universitas Paramadina. Anies lebih banyak duduk di ranah eksekutif. Ia pernah menjadi menteri pendidikan di kabinet Presiden Joko Widodo.
Anies kemudian menjadi gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Sementara Sohibul pernah duduk sebagai anggota DPR 2009-2014. Ia sempat menjadi wakil ketua DPR setahun pada periode itu. Sohibul kemudian diangkat sebagai presiden PKS.
Keputusan PKS ini bisa dibilang mengejutkan, pasalnya beberapa hari sebelumnya partai tersebut menetapkan Sohibul yang diusung menjadi calon gubernur Jakarta.
Duet Anies-Sohibul ini diprediksi tak berjalan mulus hingga ke pendaftaran pasangan calon pada akhir Agustus 2024. PKS juga masih membutuhkan tambahan kursi DPRD untuk bisa mengusung pasangan ini.
Partai atau gabungan partai politik minimal harus memiliki 22 kursi DPRD untuk mendaftarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Sementera PKS hanya memiliki 18 kursi.
Pengamat politik yang juga Direktur LIMA Ray Rangkuti menganggap PKS terlalu buru-buru memasangkan Anies-Sohibul Iman. Menurutnya, keputusan ini justru akan merugikan PKS pada Pilkada 2024.
"Tidak ada situasi eksternal yang menghendaki PKS untuk buru-buru mendeklarasikan Anies-Iman, lebih karena perdebatan internal PKS sendiri. Dan, karenanya, tidak ada juga tujuan eksternal dari pengumuman ini," kata Ray kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/6).
Ray mengatakan menduetkan Anies-Sohibul sama dengan menduetkan dua orang bersaudara. Ia menyebut tak ada nilai tambah bagi pasangan ini karena Anies dan Sohibul berada di ceruk suara yang sama.
"Pemilih Anies itu ya PKS. Idola warga PKS itu ya Anies. Jadi, tidak ada nilai tambah bagi pasangan ini. Mereka hanya berkeliling di lingkaran rumah mereka masing-masing," ujarnya.
"Wajah Jakarta adalah wajah plural. Para calon, baiknya mengakomodasi pluralitas wajah Jakarta dalam menetapkan pasangan calon mereka. Maka, situasi ini, justru memberi angin segar bagi calon lain,"kata Ray menambahkan.
Keputusan rasional
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai keputusan PKS untuk mengusung Anies-Sohibul adalah rasional dan dapat dipahami. Anies secara elektoral masih bagus di Jakarta.
Meski tidak sepopuler nama-nama lain, Pangi menilai Sohibul mempunyai latar belakang yang baik. Sohibul pernah menjabat sebagai Presiden PKS (2015-2020) dan Wakil Ketua DPR (2013-2014).
Pangi melihat Anies-Sohibul klop. Anies menjadi pengeruk elektabilitas dan Sohibul sebagai penggerak mesin partai dan dukungan logistik dari partainya.
"Anies itu citranya populis. Elektoralnya bagus. Sohibul bisa diambil dari ceruk mesin partainya yang bagus. Sohibul punya ceruk partai yang kuat," kata Pangi kepada CNNIndonesia.com.
"Apa yang diusul PKS itu juga rasional dan fair. Karena PKS selama ini ngalah terus, enggak ada yang didorong. Apalagi dengan latar belakang Sohibul Iman," imbuhnya.
Namun, Pangi menyebut permasalahan dari duet dua pasangan ini adalah soal segmentasi suara. Anies dan PKS mempunyai segmentasi yang tak jauh berbeda.
"Kemungkinan penambahan elektabilitas Anies tidak terlalu besar. Tapi peluang untuk kepilih ada," ucapnya.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah melihat duet Anies-Sohibul akan berhasil jika PKS bisa meyakinkan parpol lainnya yang akan berkoalisi dengan pilihan cawagubnya.
Dedi menjelaskan PKS belum bisa mengusung bakal paslon cagub-cawagub sendiri di Jakarta. Meskipun, partai tersebut merupakan peraih kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta, yakni 18 kursi.
Merujuk pada Pasal 40 UU Pilkada, pasangan calon kepala daerah baru bisa didaftarkan ke KPU jika mendapat dukungan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara hasil pemilu terakhir. Dengan demikian, PKS mesti berkoalisi dengan parpol lain untuk menambal kekurangan minimal empat kursi.
Saat ini, parpol yang memberikan kode ingin mengusung Anies di antaranya, NasDem dan PKB. Masalahnya, kata Dedi, dua partai itu sepertinya berat menerima Sohibul.
"Jika Anies-Sohibul Iman hanya disokong PKS, akan sulit mencapai kemenangan, memang PKS unggul di Jakarta, tetapi tidak akan cukup kuat menghadapi rivalitas tanpa mitra koalisi yang lain," kata Dedi.
"Dan memasangkan Anies yang tanpa partai dengan kader PKS akan sulit juga mendapat mitra, kecuali jika Anies dianggap usungan PKS, lalu wakilnya dari partai lain, maka itu akan lebih mudah," imbuhnya.
Oleh sebab itu, Dedi menyarankan PKS untuk menimbang ulang. Jika kukuh pada keputusan, maka PKS harus bisa meyakinkan partai lain yang akan berkoalisi.
[Gambas:Infografis CNN]
Rival sebanding Anies
Dedi menilai terdapat tiga poros utama dalam Pilkada DKI Jakarta. Pertama, poros Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berisi partai-partai pengusung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Poros itu mempunyai sederet nama yang bisa diusung di Pilkada DKI, seperti Ridwan Kamil, Ahmed Zaki, Ahmad Riza, Zita Anjani, Kaesang Pangarep, Erwin Aksa, Rahayu Saraswati, hingga Siti Nur Azizah.
Poros kedua, PDIP. Dedi menilai poros ini mempunyai stok nama juga seperti Andika Perkasa, Tri Rismaharini, Hendrar Prihadi, hingga Azwar Anas.
Kemudian, poros perubahan yakni PKB, PKS dan NasDem. Stok nama yang dapat diusung adalah Anies Baswedan, Ida Fauziah, Ahmad Sahroni, dan Sohibul Iman.
Dari sederet nama itu, nama yang memungkinkan menyaingi Anies adalah Ridwan Kamil (RK). Apalagi, kata Dedi, jika diusung oleh KIM dengan intervensi kekuasaan potensi kemenangan RK sangat besar.
"Jika tidak ada perubahan komposisi koalisi maka KIM akan tangguh hadapi Anies, terlebih jika tokoh yang diajukan adalah Ridwan Kamil, tentu dengan sokongan kekuasaan, akan jauh lebih mudah hadapi Anies," kata Dedi.
Pengamat Politik dari UIN Jakarta Adi Prayitno juga mengungkapkan terdapat dua nama yang memungkinkan melawan Anies di Pilkada DKI yakni RK dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Kalau membaca hasil survei tentu anies baswedan itu menjulang elektabilitasnya. Kalau ditanya apakah ada lawan yang sebanding, ada, yaitu Ridwan Kamil ataupun Ahok," kata Adi.
Adi menyebut RK harus diakui memiliki nama besar dan elektabilitas yang cukup tinggi. Menurutnya, RK bisa menyulitkan Anies jika bertarung di Jakarta.
"Apalagi misalnya kalau RK ini diusung oleh KIM, parpol yang memenangkan Prabowo Gibran di pilpres dan menang di Jakarta," tambahnya.
Menurut Adi, pekerjaan rumah bagi KIM salah satunya mencari pasangan yang tepat untuk RK. Masalahnya, di internal KIM sendiri sepertinya masih ada proses kompromi dalam mengusung RK.
"Golkar cenderung usung RK di Jabar, tapi Gerindra dan PAN cenderung ingin RK di Jakarta," katanya.
"Di Jakarta RK harus kerja keras lawan Anies. Tak mudah memang sekalipun RK diusung mesin politik KIM. RK sebaiknya maju Jabar saja. Tapi peluang menangnya ada," ujar Adi melanjutkan.
Adi menilai jika KIM mengusung RK di Jabar dan sebagai gantinya mengusung Kaesang Pangarep di DKI, maka potensi menang semakin kecil.
"Berat kalau kaesang. Butuh keajaiban menang lawan Anies. Lebih kuat RK [daripada Ahok] karena instrumen pendukungnya dari KIM yang terbukti memenangkan Prabowo-Gibran di Jakarta," katanya.