Matahari bersinar terik tepat di atas kepala saat kami menginjakan kaki di Bandara Pangsuma, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, akhir November 2023 lalu.

Hawa panasnya terasa lebih menyengat dari Jakarta. Saya buru-buru menuju pintu kedatangan bandara begitu turun dari pesawat. Tak ada angkutan umum maupun taksi di bandara tersebut. Ada beberapa rental mobil di Putussibau. Harga sewanya mulai dari Rp700 ribu hingga Rp1 juta per hari.

Bandara tersebut baru ramai ketika ada jadwal penerbangan. Penerbangan dari Bandara Supadio menuju Bandara Pangsuma hanya tersedia pada Rabu, Jumat, dan Minggu.

Pesawat yang saya tumpangi langsung balik lagi ke Pontianak pada hari itu juga. Jadi pesawat dari Pontianak terbang sekitar pukul 10.30, lalu balik lagi dari Putussibau pukul 12.00.

Tertinggal pesawat di sana adalah mimpi buruk. Penerbangan baru ada lagi dua hari kemudian. Rute Pontianak-Putussibau hanya dilayani oleh satu maskapai dengan pesawat jenis ATR. Harga tiketnya sekitar Rp1,7 juta. Terkadang ketika penumpang sepi, pesawat batal terbang dan menunggu jadwal selanjutnya.

Pesawat bukan satu-satunya transportasi untuk ke Putussibau. Terdapat angkutan bus hingga travel, istilah warga setempat taksi, dengan rute Pontianak-Putussibau.

Waktu tempuhnya jauh lebih lama. Jika naik pesawat hanya sekitar 1 jam, melalui jalur darat bisa mencapai 12 jam lebih. Rutenya panjang melewati Kabupaten Sekadau dan Sintang.

Hari itu saya akan mendatangi salah satu lokasi budidaya pohon kratom (mitragyna speciosa) di Kecamatan Jongkong. Ada dua alternatif untuk menuju ke sana dari Putussibau, yakni jalur darat atau jalur sungai.

Saya memilih melalui jalur sungai menggunakan speedboat.

Saya langsung ke dermaga penyeberangan sungai Putussibau, yang berada di sisi utara Sungai Kapuas. Dari bandara hanya sekitar 20 menit. Dermaga tersebut melayani penyeberangan ke beberapa kecamatan di Kapuas Hulu yang dilintasi aliran Sungai Kapuas.

Hermanto alias Ede dan kakaknya Budi sudah menunggu kami di Dermaga Putussibau. Lokasinya berada di dekat jembatan utama Kota Putussibau yang membelah Sungai Kapuas. Budi akan mengemudikan speedboat kami.

Hari itu air sungai sedang pasang. Arusnya cukup deras. Saat pasang, kedalaman Sungai Kapuas bisa mencapai 30 meter. Air sudah meluber ke sisi kanan kiri sungai.

Kami berangkat sekitar pukul 13.30. Cuaca mendukung perjalanan kami ke Kecamatan Jongkong. Perjalanan memakan waktu sekitar 3 sampai 4 jam dari Putussibau.

Badan Sungai Kapuas cukup lebar hingga mencapai sekitar 20 meter. Kapal berukuran besar, seperti tongkang bisa melintas di sungai ini.

Aliran Sungai Kapuas berkelok-kelok. Airnya berwarna cokelat kehitaman. Batang-batang pohon yang tumbang terbawa arus sungai. Jika tak jeli, kapal bisa menabrak bongkahan kayu tersebut.

Sejauh mata memandang, hamparan pohon kratom membentang di sisi kanan dan kiri aliran sungai. Rumah sarang burung walet berdiri di antara pohon-pohon kratom. Bangunannya terbuat dari kayu dengan atap seng. Terdapat lubang di dinding bagian atas.

Tinggi pohonnya sekitar 3 meter. Daunnya rimbun berwarna hijau tua. Sebagian besar pohonnya terendam air sungai yang meluap. Tanaman ini tak mati meskipun tergenang air.

Pohon-pohon kratom itu dibudidaya oleh masyarakat sekitar, mulai marak sekitar tahun 2010 lalu. Mereka memilih menanamnya di bantaran Sungai Kapuas karena subur. Tumbuhan tersebut juga berfungsi untuk menahan erosi.

Dari kejauhan saya melihat dua orang sedang memanen daun kratom dari atas sampan.

Budi menyebut daun kratom itu dibawa memakai sampan ke tempat pengolahan atau dijual ke rumah pengepul. Harga daun basah sekitar Rp3.000 per kilogram (kg). Satu pohon berusia setahun bisa menghasilkan daun kratom sampai 2 kg saat panen pertama. Jumlah daunnya bertambah seiring usia pohon tersebut.

Hari mulai gelap saat kami tiba di Desa Jongkong Kiri Hulu, kampung halaman Budi dan Ede. Desa mereka berada di sisi utara Sungai Kapuas.

Rumah-rumah warga berdiri dengan pondasi kayu seperti rumah panggung. Jaraknya berdekatan, hanya dipisahkan jalan-jalan setapak.

Pohon-pohon kratom tumbuh di kanan kiri jalan dan pekarangan rumah warga. Saat musim penghujan, air sungai naik dan membanjiri kawasan di sekitar bantaran hingga radius 2 kilometer. Jalan-jalan desa yang kami lewati bahkan ikut terendam ketika Sungai Kapuas pasang.

Malam itu saya bermalam di rumah Ede. Lokasinya hanya sekitar tiga menit berjalan kaki dari dermaga. Sementara rumah Budi berada di depan rumah Ede.

Listrik sudah masuk ke Desa Jongkong Kiri Hulu. Namun, baru sekitar tiga tahun terakhir listrik nonstop 24 jam. Sebelum-sebelumnya, listrik hanya menyala saat malam hari.

Ede salah seorang pengepul daun kratom asal Jongkong. Ia menggeluti bisnis kratom dari nol sejak lima tahun lalu. Ede tadinya kuli panggilan di dermaga Jongkong.

Ede mulanya menjual daun kratom kecil-kecilan hingga kini menjadi pemasok ke eksportir di Kota Pontianak. Ia pun bekerja sama membangun pabrik pengolahan atau green house di dekat rumahnya itu.

Lokasinya persis di samping rumah Budi. Di bagian depan terpampang tulisan Borneo World Kratom, perusahan eksportir relasi Ede. Pabriknya juga berdiri model panggung. Bangunannya memiliki lebar sekitar 5 meter dengan panjang mencapai 30 meter.

Bagian dalam green house ini terdiri dari ruang pengeringan dengan rak-rak bertingkat untuk menyimpan daun-daun kratom yang baru dipetik, lalu ruang penjemuran yang dilapisi plastik ultraviolet. Penggunaan plastik UV ini untuk meningkatkan suhu hingga lebih dari 40 derajat celcius.

Tujuannya agar daun-daun kratom yang sudah didiamkan di ruang pengeringan bisa lebih cepat kering. Kemudian ada sebuah ruangan terbuka tanpa atap yang juga untuk menjemur daun.

Di salah satu sudutnya ada mesin penggiling berukuran sedang. Mesin ini dipakai untuk menghancurkan daun-daun kering hingga menjadi remahan.

Saban hari, Ede berada di pabrik tersebut memantau produksi daun kratom. Ia memiliki ruang kerja sendiri. Ede mempekerjakan warga sekitar untuk menjemur, menggiling, dan mengemas daun kratom yang sudah menjadi remahan.

Ede menampung daun basah dari para petani di sekitar Jongkong. Daun basah ia beli Rp3.000 per kg. Ede langsung membayar sesuai dengan jumlah yang dijual para petani pada hari itu juga.

Daun basah diproses menjadi remahan. Ede menjual daun yang sudah menjadi remahan itu Rp25 ribu sampai Rp27 ribu per kg ke rekannya di Pontianak yang dikemas plastik transparan. Ia mengirimnya menggunakan truk seminggu sekali.

“Sampai sekarang Alhamdulillah sudah bisa mencapai 30 sampai 50 ton itu per bulan," ujarnya.

Malam itu Ede mengajak kami main ke rumah seorang warga di desanya. Tak banyak aktivitas masyarakat selepas Isya. Mereka biasanya hanya berkumpul di salah satu rumah warga untuk bercengkrama sambil meminum rebusan daun kratom yang sudah menjadi bubuk.

Sejumlah warga duduk melingkar di teras rumah yang menghadap ke lapangan desa. Kebanyakan bapak-bapak yang hadir malam itu. Sebagian lainnya anak muda. Beberapa anak kecil ikut nimbrung sembari memainkan ponsel pintarnya. Sinyal provider dan internet cukup kuat untuk jenis tertentu.

Rendi, salah seorang pemuda desa tengah menghidangkan kratom untuk dinikmati bersama. Dengan telaten ia memasukan bubuk kratom ke dalam gelas satu per satu. Takarannya satu sendok teh per gelas.

Setelah semua gelas terisi, Rendi menuangkan air panas dari teko lalu mengaduknya hingga rata. Airnya berubah menjadi hijau. Bubuknya tak larut. Diamkan beberapa menit hingga bubuk kratom mengendap di dasar gelas, seperti kopi.

Ada yang langsung meminumnya saat masih agak panas. Beberapa lainnya menunggu air kratom menjadi dingin.

Saya ikut mencicipi. Menyeruputnya perlahan saat masih hangat. Rasanya pahit seperti ramuah sebuah jamu.

Hanya orang dewasa yang boleh meminum air rebusan kratom di desa tersebut. Rendi dan beberapa warga setempat hampir setiap malam melakukan rutinitas tersebut. Air rebusan kratom ini bisa mengalihkan mereka dari minuman keras beralkohol.

Sejak mengonsumsi kratom, Rendi dan rekan-rekannya sudah tak lagi menenggak miras. Mereka merasa terbantu bisa lepas dari kebiasan minum-minuman beralkohol sejak beberapa tahun terakhir. Meski rutin minum air kratom, Rendi merasa tak ada yang aneh di tubuhnya.

“Badan lebih enak setelah minum ini saat pagi hari,” kata Rendi.

Darman (60), seorang guru sekolah dasar (SD) di Jongkong, mengatakan daun kratom sudah puluhan tahun dimanfaatkan warga Jongkong. Ia mulai mengajar di wilayah Jongkong sejak tahun 1980-an. Darman mengikuti program penempatan guru-guru di pelosok Kalimantan.

Darman mengatakan selain diminum, daun kratom juga dimanfaatkan warga setempat untuk menyembuhkan luka luar, seperti tergores yang menyebabkan pendarahan. Daun kratom itu digosok-gosok atau dikunyah hingga hancur, lalu langsung ditempelkan ke bagian luka tersebut.

“Darahnya berhenti, jadi langsung ada pembekuan pada bagian yang luka. Pernah saya coba, langsung berhenti total,” kata Darman.

Kegiatan budidaya kratom di daerah Jongkong dimulai sekitar tahun 2010. Sebelum dibudidaya, pohon kratom tumbuh liar di dalam hutan. Tanaman ini bisa tumbuh besar hingga 20 meter lebih.

Ede kini mulai membudidaya kratom sejak tahun lalu. Ia memiliki lahan di sisi selatan bantaran Sungai Kapuas, yang masih berada di Kecamatan Jongkong. Ede mengaku menanam sekitar 6.000 bibit pohon kratom di lahan tersebut. Harga pohon bibit setinggi 20 cm Rp2.000 per batang. Ede memperkirakan mulai bisa memanennya pada tahun ini.

“Setidaknya kalau kita sudah ada kebun sendiri, kita enggak bakalan kekurangan bahan mentah,” kata Ede.

Saya pamit duluan, sementara Darman dan beberapa warga desa masih lanjut hingga larut. Paginya saya sudah membuat janji dengan salah satu petani pemilik perkebunan kratom di Jongkong.

Kabut masih menyelimuti desa pagi itu. Jam sudah menunjukan pukul 07.00, namun sinar matahari belum merambat ke permukiman desa. Jarak pandang samar-samar tak sampai satu kilometer.

Setelah sarapan kami bergegas pergi ke salah satu kebun kratom milik warga Jongkong. Saya diantar Budi untuk ke sana. Kami kembali menyusuri Sungai Kapuas dengan speed boat.

Menurut Budi, lokasi kebunnya tak jauh, hanya sekitar 10 menit dari desanya. Speed boat bergerak melawan arus ke arah timur. Kebun kratomnya berada di sisi selatan bantaran sungai.

Dari kejauhan, sejumlah perempuan sibuk memetik daun kratom di sebuah ladang di tepian sungai Kapuas. Mereka masing-masing memanen satu pohon yang sudah rimbun daunnya.

Para pemetik daun ini bekerja di kebun milik Suryati alias Ati (56). Ati memiliki 15 ribu pohon di atas lahan seluas 10 hektare. Pohon-pohon ini dipanen dua sampai tiga bulan sekali.

Kebunnya membentang dari timur ke barat di sisi selatan aliran sungai. Di lahan tersebut, Ati juga membangun rumah Walet untuk bersarang serta kolam-kolam Ikan Arwana. Selain itu terdapat tempat pengolahan daun kratom (green house) dengan model panggung.

Saat sungai pasang, air membanjiri perkebunannya. Pohon-pohon kratomnya tetap hidup meskipun terendam air berhari-hari. Ketika saya datang air belum sampai membanjir kebun tersebut.

Siti Huzaimah (49) duduk tak jauh dari bibir sungai. Tangannya lihai mencabut daun-daun kratom dari dahan yang tergeletak di depannya. Daun tersebut lalu ditempatkan ke dalam sebuah keranjang.

Huzaimah sudah lima tahun menjadi pemetik daun kratom di kebun Ati. Ia mendapat upah Rp2.000 per kg daun. Dalam satu hari, perempuan tiga anak ini bisa memanen 10 pohon kratom.

“Sehari bisa 50 kg daun, kadang enggak tentu, kadang daun baik bisa 60, 70 kg,” katanya.

Sebelum menjadi pemetik daun kratom, Huzaimah bertani karet. Ia dan suami memiliki kebun karet di Jongkong. Namun harga karet anjlok dalam enam tahun terakhir. Saat ini harganya hanya sekitar Rp6.300 per kg.

Huzaimah mengaku senang menjadi pemetik daun kratom karena bisa langsung mendapat uang pada sore harinya. Jika dalam sehari memetik 50 kg daun kratom, ia bisa membawa uang Rp100 ribu.

“Karet tuh lama jadi duitnya, satu bulan, kalau purik (kratom) hari itu juga langsung dapat uang. Kita terima untuk belanja (sehari-hari),” ujarnya.

Di antara pemetik perempuan, ada seorang laki-laki yang ikut memanen daun kratom di kebun Ati. Namanya adalah Supawi (53), suami Huzaimah.

Supawi mengaku diajak oleh sang istri untuk ikut memetik daun. Ia baru satu bulan terakhir bekerja. Menurutnya, kebun karet sudah tak bisa diandalkan agar dapurnya tetap ngebul.

Supawi dan istri juga memiliki kebun kratom di Jongkong. Mereka menanam sekitar 1.200 batang pohon kratom pada 2020 lalu. Sejak itu, mereka berhasil sembilan kali memanen daun. Panen kratom rata-rata dua sampai tiga kali dalam setahun.

Dalam setiap panen, Supawi dan istrinya bisa memetik daun basah hingga 100 kg. Namun, kebunnya itu sudah tiga bulan tak dipanen karena sepi pembeli daun basah. Harga daun basah kini sekitar Rp3.000 per kg. Ia kesulitan untuk menjual daun basah ke pengepul.

“Pokoknya 2023 ini memang macet pembeli,” ujarnya sambil memetik daun kratom.

Oleh karena itu, Supawi ikut istrinya menjadi pemetik daun kratom. Mereka bekerja dari pukul 08.00 sampai 16.00. Para pemetik ini datang dijemput dan pulang diantar menggunakan sampan bermesin oleh karyawan Ati.

Menurut Supawi, penghasilan dari memetik cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari.

Supawi dan istrinya Huzaimah setidaknya bisa membawa pulang uang Rp200 ribu dalam satu hari memetik daun di kebun kratom Ati tersebut.

Ati si pemilik lahan merupakan salah satu petani sekaligus pengepul daun kratom di Jongkong, Kapuas Hulu. Ia memiliki tempat pengolahan daun untuk menjadi remahan kasar.

Pengolahan daun (green house) berada di tengah kebun kratom. Bangunannya dirancang macam rumah panggung. Ada bagian teras terbuka dan ruangan beratap.

Model panggung dipilih untuk mencegah air masuk ketika sungai pasang. Daun-daun basah hasil panen dijemur dari pagi hingga sore. Setelah itu daun disimpan di rak bertingkat.

Daun yang sudah benar-benar kering lalu digiling menggunakan mesin menjadi remahan kasar. Selanjutnya remahan tersebut ditampih untuk memisahkan batang-batang daun yang belum hancur.

Remahan yang sudah bersih dari batang daun lalu ditempatkan dalam plastik transparan berukuran sekitar 25 kg. Remahan daun kratom ini dikirim ke eksportir yang berada di Pontianak.

Ati memproduksi remahan daun hijau dan merah. Untuk membuat daun merah ada beberapa proses yang harus dilakukan. Pertama daun yang baru dipanen langsung dimasukan ke dalam plastik transparan besar.

Daun lalu didiamkan selama tiga hari sampai berubah menjadi merah kecoklatan. Mereka menyebutnya proses fermentasi daun. Setelah itu daun dijemur sampai kering. Daun digiling menjadi remahan.

Ati mulai membudidaya kratom pada 2014 lalu. Sang suami kurang mendukung niatnya tersebut. Suaminya itu menganggap kratom tidak akan laku dan menguntungkan. Namun, Ati tetep nekat.

“Dulu kan yang beli kadang ada, kadang enggak, nekat ibu. Pokoknya dibeli atau tidak tetap (saya akan menanam kratom), kalau tidak dibeli pohonnya bisa untuk mebel,” kata Ati kepada CNNIndonesia.com di perkebunan kratom miliknya, di Kecamatan Jongkong.

Ati memiliki tujuh orang karyawan. Mereka bertugas menjemur, menggiling daun menjadi remahan, hingga menampik atau memisahkan remahan dengan tulang daun.

Ia juga memiliki 20 orang pemetik daun kratom yang dibayar Rp2.000 per kilogram (kg). Rata-rata mereka bisa memetik daun kratom sekitar 50 kg sampai 100 kg sehari.

Luas kebun kratom Ati saat ini sekitar 10 hektare. Terdapat 15 ribu pohon kratom yang ditanam di lahan tersebut.

Tinggi pohonnya rata-rata sekitar 3 meter. Karena pohon ini bisa tumbuh besar sampai tingginya mencapai 20 meter, Ati meminta para pekerjanya memangkas cabang-cabang pohon setiap panen.

Ati mengatakan daun kratom sangat membantu ekonomi masyarakat Kapuas Hulu, termasuk Jongkong. Menurutnya, kratom kini menjadi mata pencarian utama masyarakat. Ati mengaku khawatir kratom dilarang karena dicap narkoba.

“Maka kami ini tetap memperjuangkan kratom ini harus bisa legal. Harus punya kejelasan dari pemerintah,” kata Ati.

Usai melihat budidaya kratom di kebun Atik, kami kembali ke Desa Jongkong Kiri Hulu. Saya bertemu dengan Ketua Asosiasi Petani Purik Indonesia (Appuri) Ibrahim. Rumahnya sekitar 300 meter dari rumah Ede.

Ibrahim juga petani sekaligus pengepul daun kratom. Siang itu sejumlah pekerjanya bergantian memindahkan remahan daun kratom.

Ibrahim memperlihatkan tempat pengolahan daun yang terletak tak jauh dari kediamannya. Pabriknya berada di tengah-tengah rumah penduduk. Hampir setiap rumah yang saya lalui memiliki stok remahan kratom.

Ibrahim sudah membudidaya kratom sejak 2012 silam. Ia merupakan pensiunan PNS Dinas Pendidikan Kabupaten Kapuas Hulu. Ibrahim menyebut banyak masyarakat yang kini ikut membudidaya kratom.

“Jadi mengingat luasnya Kapuas Hulu ini memang cukup luas, jadi sehingga kami belum bisa mendata itu lebih jauh,” ujar Ibrahim kepada CNNIndonesia.com.

Harga kratom naik turun dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun lalu, harga daun basah berkisar Rp3.000 per kg.

Kemudian harga daun remahan juga jatuh. Di beberapa desa di Kapuas Hulu, harga remahan terjun bebas menjadi Rp11.000 per kg. Meskipun masih ada petani/pengepul yang bisa menjual di harga Rp25.000 sampai Rp35.000 per kg.

Ibrahim menyebut harga daun ini anjlok mulai Maret 2023 lalu. Sebelum bulan itu harga daun remahan sekitar Rp35 ribu per kg. Bahkan pada tahun 2012 sampai 2022 lalu, harganya bisa mencapai Rp50 ribu per kg.

“Kalau sekarang berkisar 15-17 ribu, kalau dulu sebelum bulan-bulan Maret (2023) itu masih 35, 37, malah sampai 40 ribu,” katanya.

Ibrahim bercerita kratom ini merupakan tanaman liar. Pohonnya tumbuh di hutan-hutan Kapuas Hulu, termasuk di Jongkong. Sebelum jadi komoditas, kratom dikonsumsi secara tradisional oleh masyarakat setempat, seperti dikunyah hingga direbus.

Daun kratom dipercaya bisa menurunkan panas badan hingga menambah stamina. Sementara batang pohon kratom bisa diambil kulitnya untuk mengobati gatal-gatal.

“Kalau misalnya ada yang kena gatal, kulitnya dikupas, digosok-gosok, kemudian untuk menurun panas juga bisa, daunnya direbus, ambil tiga sampai empat lembar direbus, sehingga akhirnya airnya itu seperti daun teh. Jadi itu diminum. Insyaallah kalau sudah dua-tiga kali minum akan pulih atau segar,” katanya.

“Kami ini tetap memperjuangkan kratom ini harus bisa legal. Harus punya kejelasan dari pemerintah.”

Suryati, pemilik kebun kratom

Kami harus kembali ke Putussibau sebelum pukul 14.00 agar sebelum petang sudah sampai di sana. Menurut Budi, waktu tempuh akan lebih lama karena akan melawan arus Sungai Kapuas.

Cuaca hari itu terik, namun langit di wilayah timur mulai terlihat gelap. Kami bergegas khawatir hujan turun sebelum sampai Putussibau. Saya akan kembali membelah sungai terpanjang di Indonesia itu.

Perjalanan pulang lebih menantang. Arus sungai menjelang sore mulai deras. Ditambah air sedang pasang. Budi tak bisa mengendarai speed boat-nya dengan laju. Ia berhati-hati menghindari gelompang arus yang muncul sepanjang perjalanan.

Awan hitam mulai menyelimuti. Rintik hujan turun. Budi segera menepi ke dermaga milik warga. Ia bergegas memasang atap. Saya juga langsung mengamankan barang elektronik serta dompet ke dalam kantong plastik.

Atap speed boat tak terpasang sempurna karena salah satu lubang penyangga kurang pas dengan sangkutan di bagian kaca depan. Saya bantu memegangnya agar air hujan tak masuk. Budi langsung tancap gas.

Tak lama berselang hujan turun dengan lebat. Angin bertiup lebih kencang. Arus sungai mengalir semakin deras. Perahu melaju sambil naik turun mengikuti gelombang air yang semakin besar. Jarak pandang pun sangat terbatas.

Lampu sorot di bagian depan perahu dihidupkan untuk membantu penglihatan. Langit gelap gulita. “Malam’ datang lebih cepat. Lampu perahu tiba-tiba mati, namun sekian detik hidup lagi. Itu terjadi berulang kali.

Saya pikir lampunya rusak. Ternyata sengaja dibuat demikian agar pengemudi tetap bisa melihat sekitar, terutama perahu lain yang melintas. Jika tidak begitu penglihatan pengemudi speed justru menjadi silau.

Budi sangat hati-hati mengemudikan perahunya menerjang arus sungai deras dan juga bergelombang. Laju kapal menjadi lebih berat. Jika melaju terlampau kencang dan tiba-tiba menghantam gelombang, speed boat bisa terbalik.

Budi juga berusaha menghindari bongkahan kayu yang semakin sulit terlihat. Sampah-sampah potongan kayu ini sangat berbahaya jika tertabrak. Lambung kapal bisa bolong, bahkan bisa membuat perahu terbalik.

“Bruk”. Seketika mesin perahu mati. Baling-baling perlahan berhenti berputar. Budi mengaku menabrak batang kayu. Ia bergegas meninggalkan kemudinya menuju mesin di bagian belakang.

Perahu terombang-ambing hingga berputar arah. Budi berusaha menghidupkan mesinnya sambil memeriksa kondisi baling-baling apakah rusak atau tidak. Hujan belum juga reda. Kilatan petir sesekali muncul di langit.

Suara mesin tiba-tiba memecah keheningan. Baling-baling juga masih berfungsi. Ketakutan perlahan luntur. Kami kembali melanjutkan perjalanan menembus badai hujan. Air mulai tampias ke bagian dalam perahu.

Budi mengendarai perahu sambil merunduk agar bisa melihat aliran sungai dari balik kaca depan. Ia sempat mengeluarkan kepala, namun pandangannya semakin buram karena hujan begitu lebat.

Kami tak tahu pasti perahu sudah melaju sampai daerah mana. Budi pun memutuskan menepi sejenak di dermaga warga yang rumahnya berada di bantaran sungai. Beberapa saat kemudian, hujan mulai reda.

Saya membuka ponsel untuk melihat aplikasi google maps. Titik lokasi kami berhenti, ternyata sudah lumayan dekat dengan pusat kota Putussibau. Perjalan kira-kira tinggal satu jam lagi.

Perasaan cemas selama perjalanan tadi mulai hilang seiring hujan yang mereda. Kami bersantai sejenak, menikmati suasana malam di tepian Kapuas.

Kami melanjutkan perjalanan. Arus sungai sudah tak begitu deras. Hujan juga mulai berhenti. Langit berubah cerah. Dari kejauhan, jembatan utama Putussibau mulai terlihat. Ini menandakan kami hampir sampai.

Dermaga penyeberangan berada sebelum jembatan itu. Sekitar pukul 7 malam kami sampai dermaga itu. Saya langsung menuju hotel untuk bermalam.

Di Pontianak, saya bertemu dengan beberapa pengusaha kratom. Mereka pemain kratom yang sudah mengekspor bubuk daun tersebut ke sejumlah negara sejak beberapa tahun terakhir.

Pertama saya menemui pemilik Borneo World Kratom, Eddo Susanto (33). Eddo memulai bisnis kratom 2017 lalu. Ia menjalankan usaha ini bersama kekasih, yang kini menjadi istrinya.

Pada tahun itu sudah banyak eksportir kratom di Pontianak. Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah ekspor bubuk kratom pada 2017 lalu mencapai 3.738,3 ton dengan nilai transaksi US$10,1 juta.

Eddo dan istrinya mulai memasarkan bubuk kratom Pada tahun itu, ia berhasil menjual kratom lewat media sosial, seperti Facebook dan Instagram.

Mereka akhirnya mendapat pembeli di Amerika Serikat (AS). Untuk pertama kalinya ia mengekspor bubuk kratom seberat 25 kg ke AS pada April 2017.

“Di bulan keduanya mereka order sekitar 300 kilogram, ya tinggal lah sampai saat ini mereka masih bersama kita (menjadi pelanggan tetap),” ujarnya.

Lambat laun bisnisnya berkembang pesat. Kini Eddo bisa mengekspor bubuk kratom sampai 4 kontainer atau sekitar 108 ton dalam sebulan. Ia menjualnya US$9 sampai US$10 per kg.

Jika dikalkulasi, Eddo mengantongi sekitar Rp16.841.682.000 (Rp16,84 miliar) per bulan. Ini belum dipotong biaya ekspor sekitar Rp200 sampai Rp300 juta per kontainer serta ongkos produksi lainnya.

“Alhamdulillah lah dengan kita dari awal memulai industri ini saya dapat membuka lapangan pekerjaan saya juga dapat membangun pabrik,” kata Eddo di Pontianak akhir tahun lalu.

Eddo sudah membangun pabrik pengemasan di daerah Sungai Jawi, Pontianak. Ia mengajak saya melihat proses pengemasan bubuk kratom yang sudah halus seperti tepung terigu.

Lokasi pengemasan produk dibuat steril. Pengunjung, tamu, termasuk Eddo jika ingin masuk ke tempat pengemasan wajib memakai kantong transparan pembungkus sepatu.

Kemudian melewati pintu sterilisasi otomatis. Orang yang ingin masuk harus berhenti di dalam lorong pintu selama beberapa detik mengikuti proses sterilisasi. Setelah selesai pintu masuk terbuka otomatis.

Tumpukan kantong transparan berisi bubuk kratom menyambut kami begitu masuk. Kantong-kantong itu diletakan berjajar sesuai nomor dan warnanya.

Bubuk kratom ini tak langsung dikemas, tetapi diuji laboratorium terlebih dahulu. Eddo membangun lab di lantai dua pabrik tersebut. Ia membeli alat-alat lab dari luar negeri pada 2022.

Eddo juga sedang membangun pabrik penggilingan daun kratom di Pontianak. Progresnya sudah hampir 100 persen. Ia menyiapkan mesin giling ‘raksasa’ yang bisa menggiling sampai 10 ton dalam satu hari.

Saat ini Eddo menggiling produknya di pabrik milik rekannya Adi Darma Putra (35), yang juga berada di Pontianak.

Pabrik penggilingan milik Adi berada persis di samping rumahnya. Terdapat dua mesin yang beroperasi. Tinggi masing-masing mesin sekitar 2 meter dengan panjang 3 meter.

Adi merintis bisnis kratom ini sejak 2010 silam, ketika masih kuliah. Ia mengambil jurusan psikologi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI, kini menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).

Saat itu Adi gemar mencari informasi di forum jual beli seperti eBay dan Tradekey tentang tanaman yang bisa dimanfaatkan dari Indonesia. Ia menemukan tanaman bernama kratom cukup diminati di negara luar.

Adi langsung mencari tanaman tersebut di kampung halamannya, di Jongkong. Adi merupakan anak dari Ketua Appuri Ibrahim. Ia yang mengajak sang ayah berbisnis kratom.

Adi mengatakan saat itu daun kratom yang diekspor masih remahan kasar. Belum ada yang memakai mesin penggiling hingga bisa menjadi bubuk atau tepung, seperti yang beredar saat ini.

Adi menggiling daun kering ketika itu menggunakan mesin jenis disk mill. Jenis mesin tersebut biasa dipakai untuk menghaluskan biji kopi. Adi masih ingat ia pertama kali menjual daun kratom sebanyak 50 kg ke AS.

Kemudian pembelinya itu meningkatkan permintaan menjadi 200 sampai 300 kg per bulan.

Harga jual terbilang tinggi sekitar US$75 sampai US$80 per kg. Pengiriman memakai jasa ekspedisi udara karena jumlah barang masing terbilang kecil. Permintaan dari AS terus bertambah dalam dua tahun awal.

“Sampailah sejumlah yang dalam sekitar 1 ton, 2 ton per bulan itu itu mulai ton-tonan itu di tahun 2012 sudah mulai ton-tonan,” kata Adi di rumahnya beberapa waktu lalu.

Namun, kata Adi, muncul peringatan impor dari Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat (FDA) terkait kandungan di dalam bubuk kratom yang masuk ke negara tersebut pada 2013.

Menurutnya, FDA ketika itu mempermasalahkan kandungan mitraginin yang ada di dalam kratom. Meskipun demikian, FDA tak melarang impor kratom. Sampai sekarang pengiriman kratom ke AS masih berjalan.

FDA juga menemukan logam berat hingga cemaran bakteri dalam bubuk kratom yang sampai di AS. Berkaca dari masalah ini, Adi mengembangkan mesin dengan kapasitas lebih besar dan bebas cemaran logam berat.

Adi belajar secara otodidak. Ia mempelajari jeroan berbagai jenis mesin yang digunakan untuk menggiling. Sampai akhirnya ia menemukan mesin yang sesuai standar dan steril dari logam berat.

“Sehingga saya ada satu sampai empat kali pergantian mesin untuk mendapatkan hasil yang memang disesuaikan dengan permintaan pasar yaitu barang itu tidak terkontaminasi dari pencemaran logam,” kata Adi.

Adi senang eksportir lainnya juga menggunakan mesin seperti yang dirinya buat. Ia kini fokus pada usaha penggilingan kratom sejak 2016 lalu. Eddo salah satu eksportir yang menggiling di pabriknya.

Pengusaha kratom lainnya, Yosef yang juga Ketua Perkumpulan Pengusaha Kratom Indonesia (Pekrindo) mengatakan aktivitas ekspor kratom sudah berjalan sejak 2005 silam.

Yosef kenal beberapa pemain kratom pada tahun tersebut. Mereka juga tergabung dalam Pekrindo.

“Informasi yang saya dapat dari masyarakat khususnya ke daerah Kapuas Hulu tahun 90-an sebenarnya sudah ada orang jual kratom, namun volumenya tidak banyak. Tapi 2005 itu mereka bilang sudah mencapai tonan per bulan, pengiriman,” kata Yosef.

Yosef memiliki pembeli di beberapa negara, terutama AS. Ia dan beberapa rekannya sedang membangun pabrik pengolahan di Putussibau, Kapuas Hulu. Di sana terdapat tempat penjemuran dan penggilingan daun remahan.

Yosef mengatakan nilai ekspor kratom terus naik setiap tahunnya. Meskipun pengiriman kratom sempat lesu, pelan-pelan pulih kembali. Ekspor kratom meningkat drastis dari 2010 sampai saat ini.

Yosef juga aktif mengadvokasi tanaman ini karena dicap sebagai narkoba jenis baru oleh Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC). Badan Narkotika Nasional (BNN) mendorong kratom masuk dalam narkotika golongan I.

Ia menentang klaim BNN bahwa kratom memiliki kandungan senyawa yang serupa morfin. Yosef mengaku rutin mengkonsumsi kratom. Namun, ia tak merasa ada efek negatif pada tubuhnya selama minum daun tersebut.

Oleh karena itu, Yosef mendorong pemerintah membuat aturan tata niaga kratom. Kemudian Kementerian Kesehatan juga mesti menetapkan tanaman kratom ini masuk kelompok narkotika golongan I atau sebagai tanaman obat.

“Barang ini bukan narkotika kok, iya kan belum ada undang-undang, belum ada yang manapun yang resmi menyebut ini. Jadi itu dulu penetapan status atau masuk dalam komoditas apa,” katanya.

Kratom menjadi komoditas ekspor utama dari Kalimantan Barat. Indonesia pemasok nomor wahid kratom ke sejumlah negara, terutama AS. Daun kratom asal Kapuas Hulu merupakan yang terbaik kandungan mitragininnya.

Kalbar penghasil daun kratom terbesar di Indonesia. Merujuk data Pekrindo, produksi daun kratom dari empat kabupaten mencapai 517 ton per bulan pada 2019 lalu. Rinciannya Kapuas Hulu 237 ton, Melawi 70 ton, Ketapang 130 ton, dan Sekadau 80 ton.

Sementara produksi daun kratom di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah totalnya hanya 195 ton per bulan.

Pekrindo juga mencatat jumlah kratom yang diekspor dari Kalimantan Barat meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 misalnya, volume kratom yang diekspor sebanyak 1.400 ton (1,4 juta kg) per tahun. Kemudian meningkat drastis pada 2018 menjadi 4.800 ton (4,8 juta kg) per tahun.

Berdasarkan data tersebut, penghasilan beberapa petani dalam usaha kratom jika dikalkulasi bisa mencapai Rp49,2 miliar dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018).

Sementara merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor bubuk kratom meningkat sejak 2017 lalu. Saat itu ekspor kratom Indonesia ke sejumlah negara sekitar 3.738,3 ton (3,7 juta kg). Jumlah yang diekspor kemudian naik hampir 50 persen menjadi 6.912,03 ton (6,9 juta kg) pada 2018.

Jumlah bubuk kratom yang diekspor sempat menurun sepanjang 2019-2021, namun naik lagi pada 2022 menjadi 8.206,7 ton (8,2 juta kg). Kemudian sepanjang 2023, ekspor kratom mencapai 7.695,07 ton (7,6 juta kg.)

Nilai transaksi ekspor produk dengan kode HS di data BPS 12119099 ini juga cukup menggiurkan.

Penjualan pada 2018 mencatatkan rekor tertinggi yakni mencapai US$16,2 juta. Kemudian turun dan tak pernah lebih dari angka tersebut. Baru tahun lalu, penjualan naik menjadi US$16,6 juta.

Kabid Pengembangan Perdagangan Luar Negeri, Perlindungan Konsumen, dan Tertib Niaga Disperindag ESDM Kalimantan Barat, Eko Darmawansyah mengatakan pihaknya secara resmi baru menerbitkan dokumen ekspor kratom pada 2014 lalu.

Eko menyebut kratom menempati urutan pertama nilai ekspor produk asal Kalimantan Barat yang dikirim ke AS. Bahkan jumlahnya mengalahkan total nilai ekspor produk-produk perkayuan lainnya, termasuk komoditas karet.

Ia memperkirakan saat ini total bubuk kratom yang diekspor dari Kalimantan Barat mencapai 300 ton per bulan. Jika dihitung memakai harga jual terendah US$5 per kg, nilainya bisa mencapai US$1,5 juta dalam sebulan.

“Itu dengan harga terendah, bisa bayangkan pada saat harga puncak tertinggi dulu itu bisa mencapai US$20-US$30 dengan volume yang kurang lebih hampir sama. Berarti banyak devisa yang bisa dihasilkan dari tanaman kratom tersebut,” kata Eko kepada CNNIndonesia.com.

Meskipun memiliki nilai ekonomis tinggi, kata Eko, Pemprov Kalimantan Barat maupun Pemkab Kapuas Hulu sejauh ini belum mendapat pemasukan dari ekspor kratom tersebut yang menjadi pendapatan asli daerah (PAD).

Menurut Eko, pengiriman produk kratom keluar negeri sampai saat ini juga lebih banyak dari luar Kalimantan Barat.

Sebagian besar dikirim dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Termasuk Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten dan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali.

“Selain Amerika kita juga mempunyai pasar ke India, punya pasar ke beberapa negara Eropa, seperti di Belanda,” katanya.

Sementara itu Pj Gubernur Kalimantan Barat Harisson Azroi mengakui aktivitas ekspor kratom belum memberikan pemasukan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Menurutnya, hal ini terjadi karena bubuk kratom yang diekspor belum memiliki kode HS alias tak tercatat dengan nama tanaman tersebut. Selain itu, pengiriman kratom keluar negeri mayoritas dilakukan dari luar wilayahnya seperti Jakarta dan Surabaya.

“Baru dari sana diekspor. Jadi Kalimantan Barat sebagai tempat diproduksinya kratom ini malah tidak dapat apa-apa,” kata Harrison kepada CNNIndonesia.com di kantornya beberapa waktu lalu.

Bubuk kratom sudah mendunia dalam dua dekade terakhir. Indonesia menjadi pemasok utama. Namun, beberapa negara masih melarang konsumsi kratom. Negara-negara ini bahkan menggolangkan kratom sebagai zat psikotropika yang masuk dalam golongan I.

Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC) menggolongkan kratom ke dalam New Psychoactive Substances sejak 2013. Kratom masuk ke dalam kategori Plant-Based Substances.

Komite Ahli Ketergantungan Narkoba (ECDD) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan ringkasan penilaian, temuan dan rekomendasi terkait kratom pada Oktober 2021. Kratom telah berada di bawah pengawasan ECDD sejak 2020.

ECDD menyebut penggunaan kratom kebanyakan untuk mengobati berbagai gangguan dan kondisi, termasuk nyeri, penghentian opioid, gangguan penggunaan opioid, kecemasan, dan depresi. Kratom juga digunakan sebagai pengobatan tradisional di beberapa negara.

Penggunaan kratom memicu kontroversi di beberapa negara. Pada dosis rendah, kratom memiliki efek analgesik dan digunakan untuk menambah stamina. Namun pada dosis tinggi memiliki efek psikotropika. Senyawa mitraginin disebut serupa dengan morfin.

Pusat Pemantauan Obat dan Ketergantungan Obat Eropa (EMCDDA) mencatat pada awal tahun 2000-an, beberapa produk tidak dikenal yang diberi label 'kratom asetat' atau 'mitragynine acetate' tidak mengandung mitraginin. Selain itu muncul minuman herbal dengan nama ‘krypton’ yang dijual di Jerman dan Swedia.

Melarang Kratom Mengendalikan Kratom Abu-abu
Inggris, Irlandia, Islandia, Polandia, Swiss, hingga Rusia Denmark, Estonia, Prancis, Italia, Latvia, Lituania, Polandia, Portugal, Rumania, Finlandia, Swedia, dan Turki Jerman, Hungaria, dan Makedonia Utara
Arkansas, Alabama, Indiana, dan Wisconsin New York, New Mexico, Arizon, Texas, Nevada, California, Florida, Georgia, Michigan, Ohio, Pennsylvania, Missouri, Minnesota, North Dakota, South Dakota, Kansas, Alaska, hingga Hawaii -
Malaysia,Myanmar, Singapura, Korea Selatan, Taiwan India Thailand, Indonesia, China, Vietnam
Australia Selandia Baru (resep dokter) -
Uni Emirat Arab (UEA), Israel - Suriah

BRIN telah menyelesaikan penelitian awal terkait kratom. Penelitian yang berjalan sejak pertengahan 2022 itu rampung pada akhir Agustus 2023. Hasil penelitian tersebut sudah dikirim ke Kantor Staf Presiden (KSP) dan didistribusikan ke kementerian/lembaga terkait.

Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Ni Luh Putu Indi Dharmayanti mengatakan penelitian kratom baru pertama kali dilakukan pihaknya. Menurutnya, data-data terkait tanaman asli Asia Tenggara itu masih minim.

Dalam riset ini, kata Indi, pihaknya paling awal meneliti kandungan senyawa aktif di daun kratom atau riset bioaktivitas.

“Riset bioaktivitas, yaitu meliputi uji antioksidan, antiinflamasi, kemudian juga analgesik, serta efek psikotropika yang kita lakukan secara in vitro dan juga in vivo,” kata Indi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Indi mengakui kratom memiliki sifat analgesik yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan morfin. Menurutnya, morfin memang memiliki tingkat analgesik yang lebih tinggi dari kratom, namun kratom punya durasi menghilangkan rasa sakit yang lebih lama.

“Dari hasil riset kami, ternyata memang ketika efek morfin misalnya pada hari ketiga dia sudah mulai mengalami penurunan terhadap aktivitas analgesiknya. Sedangkan kratom itu masih durasi untuk menghilangkan rasa sakitnya masih jauh lebih panjang sampai turun dia di hari ketujuh,” ujarnya.

“Jadi itu yang mungkin bisa kita bandingkan dengan morfin terkait dengan aktivitas analgesik yang dimiliki oleh kedua zat tersebut. Sehingga mungkin kita dalam kesimpulan sementara kita bahwa memang kratom ini memiliki aktivitas analgesik yang mungkin dapat bermanfaat untuk pengobatan, seperti itu,” kata Indi menambahkan.

Meskipun demikian, Indi menyebut kratom ini memiliki efek psikotropika jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, BRIN masih butuh penelitian lebih lanjut terkait dosis aman penggunaan kratom serta pengujian apakah kratom bisa menjadi obat untuk pasien ketergantungan obat.

“Kita masih memerlukan riset lanjutan yang tadi saya kemukakan tadi terkait dengan range dosis aman dari kratom itu seperti apa. Karena kita tahu bahwa kratom itu memiliki efek sedatif narkotik. Kemudian juga terkait dengan apakah kratom ini bisa untuk menggantikan ketergantungan terhadap opioid. Itu yang masih kita lakukan,” katanya.

“Tentu penelitiannya enggak bisa setahun saja begitu, terus masih akan kita lakukan,” ujar Indi.