MA: Tak Ada Mogok Massal Hakim, Hanya Cuti yang Diambil Berbarengan
Mahkamah Agung (MA) buka suara ramai cuti hakim yang berlangsung selama periode 7-11 Oktober 2024.
Juru Bicara MA Suharto menjelaskan tidak ada istilah mogok massal seluruh hakim Indonesia. Adapun cuti itu sebagai bentuk protes sejumlah hakim. Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menuntut pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para hakim melalui gaji dan tunjangan yang disebut tidak pernah mengalami penyesuaian sejak 2012.
"Lagi-lagi saya jelaskan bahwa tidak ada mogok massal, tidak ada cuti bersama," kata Suharto saat audiensi dengan SHI, Komisi Yudisial (KY), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Bappenas membahas di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (7/10).
Suharto menjelaskan istilah yang tepat adalah cuti perseorangan hakim sebagaimana hak mereka untuk cuti. Namun cuti itu dilakukan bersamaan dan serentak di berbagai daerah.
Ia menekankan, mogok massal atau cuti bersama tidak relevan dalam protes kali ini.
"Kalau kawan-kawan SHI bukan cuti bersama, mereka menggunakan hak cutinya secara berbarengan karena tanggalnya mereka yang pilih," kata dia.
Selain itu, Suharto juga menegaskan, hakim ketua memiliki wewenang dan pengetahuan untuk mengenai hakim mana yang boleh diizinkan cuti dan sebaliknya.
Suharto pun mengingatkan setiap hakim memiliki beban tugas yang berbeda-beda dalam memimpin persidangan. Ia berharap cuti ini juga tidak mengganggu jalannya persidangan yang sudah berproses di daerah.
"Cuti itu adalah hak mereka sepanjang diambil tidak mengganggu jalannya persidangan, tidak ada masalah," ujarnya.
Ribuan hakim dari berbagai daerah di Indonesia sebelumnya disebut akan melakukan gerakan cuti pada 7-11 Oktober 2024. Mereka menuntut pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para hakim melalui gaji dan tunjangan yang disebut tidak pernah mengalami penyesuaian sejak 2012.
Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia Fauzan Arrasyid mengatakan gerakan tersebut sebagai bentuk protes damai untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa kesejahteraan hakim adalah isu yang sangat mendesak.
Fauzan menganggap ketidakmampuan pemerintah untuk menyesuaikan penghasilan hakim tersebut sebagai sebuah kemunduran dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan.
Sebab tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim menurutnya bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Apalagi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Putusan Nomor 23P/HUM/2018 yang secara tegas mengamanatkan perlunya peninjauan ulang pengaturan penggajian hakim.
Dengan demikian, pengaturan penggajian hakim yang diatur dalam PP Nomor 94 tahun 2012 saat ini menurut Fauzan sudah tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan usulan kenaikan gaji untuk para hakim tersebut sudah dibahas oleh kementerian/lembaga terkait dan tinggal persetujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Adapun pembahasan dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB), dan Kementerian Keuangan.
(khr/isn)