Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Jazilul Fawaid mengusulkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilakukan melalui DPRD masing-masing provinsi bukan lagi dipilih oleh rakyat untuk menghemat anggaran.
Politikus PKB itu mencontohkan biaya Pilgub Jawa Barat yang mencapai Rp1 triliun pada Pilkada serentak 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul di Jakarta, Kamis (28/11) dikutip dari Antara.
Jazilul menyebut bahwa otonomi daerah sejatinya diberikan kepada kabupaten/kota sehingga pilkada langsung cukup di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, pilkada secara langsung di tingkat provinsi harus dievaluasi.
Wakil Ketua Umu PKB itu mengatakan demokrasi harus tetap berjalan dan rakyat harus mendapat kesempatan untuk partisipasi. Kendati demikian, penggunaan anggaran harus tetap menjadi perhatian.
Persoalan biaya politik itu, kata Jazilul, harus menjadi pembicaraan di antara partai-partai politik. Pembahasan itu bisa pada momen revisi paket undang-undang politik dengan sistem omnibus law, yang menggabungkan UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada.
Selain pemilihan gubernur melalui DPRD, dia juga mengusulkan pemisahan antara pemilihan umum anggota legislatif (pileg) dengan pemilihan presiden (pilpres) agar tidak bersamaan untuk menghormati kedaulatan rakyat dalam memilih presiden maupun anggota legislatif secara saksama.
Ia berpendapat bahwa pelaksanaan pileg dan pilpres secara serentak menyebabkan calon anggota DPR RI luput dari perhatian masyarakat. Pasalnya, pikiran dan perhatian masyarakat tertuju pada pemilihan presiden.
Upaya memilih Kepala Daerah melalui mekanisme DPRD pernah digulirkan pada tahun 2014. Namun upaya tersebut kandas. Kala itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu yang mencabut UU no 22 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD. Pemilihan Kepala Daerah tetap melalui mekanisme pemilihan langsung.
Sejumlah kalangan kala itu menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Mereka menilai pemilihan kepala daerah lewat DPRD adalah hal konyol dan tak sejalan dengan semangat reformasi. Beberapa pengamat berpendapat transaksi politik uang justru akan makin marak bila Pilkada diserahkan ke DPRD
(antara/fra)