Korban dugaan pelecehan seksual pria disabilitas di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) berinisial IWAS disebut lebih dari satu orang.
Selain korban berinisial MA, ada dua korban lain yang disebut berstatus mahasiswi. Selain mereka, diduga ada tiga korban lain yang masih tergolong anak-anak.
Pendamping korban dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual Nusa Tenggara Barat (NTB), Rusdin Mardatillah mengatakan tiga mahasiswi korban pelecehan seksual tersebut berstatus sebagai mahasiswi di Mataram.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seluruhnya mahasiswi di perguruan tinggi yang berada di Mataram telah hadir memberikan keterangan dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai saksi," kata Rusdin dilansir detikcom, Senin (2/12).
Rusdin menjelaskan dua orang korban lain merupakan korban persetubuhan dan satu orang korban pencabulan.
Dari ketiga korban, awalnya hanya MA yang berani melaporkan kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual tersebut ke Polda NTB pada 7 Oktober 2024.
Tak lama setelah pelaporan itu, kasus pelecehan seksual tersebut viral di media sosial.
Dari sebuah unggahan di media sosial, terdapat komentar yang menyebut ada korban lain dari kasus pelecehan seksual yang dilakukan IWAS.
Berdasar dari informasi itulah, pendamping korban mendapat beberapa kontak yang berpotensi mengetahui atau pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh IWAS.
"Kemudian ditemukan banyak perempuan yang kuat dugaan pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh terlapor dan akhirnya muncul korban 2 dan korban 3 yang berani bersuara. Selanjutnya diperiksa sebagai saksi berdasarkan laporan polisi korban 1," kata Rusdin.
Sementara itu, Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB NTB Joko Jumadi mendapatkan laporan adanya korban anak di bawah umur dalam kasus yang melibatkan IWAS.
Menurutnya, ada tiga anak-anak yang diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh IWAS.
"Kami saat ini juga menerima ada tiga lagi yang diduga korban dan tiga ini adalah anak-anak. Kami masih dalami, karena ini informasinya dari masyarakat. Sehingga dugaan yang tadi disampaikan kemungkinan besar korbannya akan ada penambahan," kata Joko.
Joko menjelaskan pendampingan KKD dalam kasus tersebut untuk membantu agar hak-hak tersangka IWAS dipenuhi dan dilindungi.
Selain KKD, IWAS juga didampingi Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram.
"Proses yang kami ingin pastikan adalah hak-hak tersangka terpenuhi. Biarkan proses ini berjalan. Kedudukan disabilitas sama di mata hukum," kata Joko.
Dalam kasus itu, polisi mengklarifikasi IWAS ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual, bukan pemerkosaan. Kini IWAS dijerat dengan Pasal 6C UU TPKS.
"Tindak pidananya bukan pemerkosaan, tetapi pelecehan seksual fisik. Ini dua hal yang berbeda," kata Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Syarif Hidayat.
CNN Indonesia belum bisa mengkonfirmasi hal ini ke pihak lain yang terkait, terutama ke pihak IWAS.
Sebelumnya, Ibunda IWAS, GAA, menegaskan anaknya tak bersalah. Menurutnya, tudingan pemerkosaan tak beralasan, apalagi yang membayar homestay adalah MA.
"Yang bayar homestay MA. Dari mana unsur pemerkosaannya? Anak saya tidak punya tangan," kata GAA, Minggu (1/12).
Ia juga membantah anaknya memaksa MA ke homestay. MA lah yang menjemput IWAS dan meminta agar ditemani ke kampus.
"Anak saya dibonceng wanita itu ke homestay, dibuka bajunya dan celananya. Malah ke balik, harusnya dia yang diperkosa, jadi korban," ungkap GAA.
(yoa/isn)