Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia (IMMK UI) menyelenggarakan seminar online bertajuk "Kupas Tuntas Kedudukan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti dalam Penyelesaian Sengketa Arbitrase" pada Kamis (5/12).
Seminar ini menghadirkan pembicara ternama, termasuk OC Kaligis, Elza Syarief, Mohamad Fajri Mekka Putra, dan Sirajuddin. Dalam seminar membahas kekuatan hukum akta notaris dalam arbitrase, termasuk kasus Mitora vs Keluarga Cendana terkait Museum Soeharto di TMII.
Wakil Ketua Umum IMMK UI, Susilo Tunggeleng, dalam sambutannya menyoroti pentingnya seminar ini sebagai ruang diskusi atas perkembangan hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Susilo mengatakan, salah satu topik yang menjadi perhatian adalah kedudukan akta notaris sebagai alat bukti sempurna. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 1876 KUHPerdata.
"Akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sah dan mengikat, tetapi bisa dilawan dengan alat bukti lain jika terdapat cacat atau ketidaksesuaian," kata Susilo dalam keterangannya dikutip Selasa (9/12).
Susilo melanjutkan, menurut Pasal 1876 KUHPerdata, akta notaris dapat menjadi bukti otentik yang sah selama tidak ada pihak yang berhasil membuktikan sebaliknya.
Sedangkan sengketa arbitrase, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (UU APSA), putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
"Namun, jika putusan tersebut mengandung cacat prosedural atau substansial, pembatalan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dalam waktu 30 hari sejak pendaftaran putusan arbitrase," kata Susilo.
Dalam kasus Mitora vs Keluarga Cendana ikut disorot karena ada dugaan kejanggalan pada putusan BANI. Sengketa terkait pengelolaan Museum Soeharto di TMII ini menimbulkan pertanyaan mengenai prosedur dan substansi putusan arbitrase.
Berdasarkan Pasal 70 UU APSA, putusan arbitrase dapat dibatalkan jika terbukti terdapat dokumen palsu, dokumen penting yang disembunyikan, dari salah satu pihak.
Putusan BANI No. 47013/II/ARB-BANI/2014 dianggap tidak mencerminkan keadilan karena arbiter tidak menafsirkan Akta Notaris Kerjasama antara Mitora dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi secara utuh.
"Keputusan tersebut dinilai mengabaikan konteks dan pelaksanaan kesepakatan yang tertuang dalam akta, sehingga melenceng dari maksud awal para pihak," ujar Susilo.
Selain itu, prosedur pendaftaran perkara dan penghitungan biaya arbitrase di BANI turut menjadi sorotan. Transparansi dalam pengelolaan biaya perkara dinilai perlu ditingkatkan untuk memastikan kepercayaan publik terhadap institusi arbitrase.
Disisi lain, Putusan BANI No. 47013/II/ARB-BANI/2014 dianggap tidak mencerminkan keadilan karena arbiter tidak menafsirkan Akta Notaris Kerja sama antara Mitora dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi secara utuh.
Keputusan tersebut dinilai mengabaikan konteks dan kesepakatan yang tertuang dalam akta, sehingga melenceng dari maksud awal para pihak.
Dosen Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Notaris/PPAT, Mohamad Fajri Mekka Putra, menegaskan putusan arbitrase harus mengacu pada penafsiran yang komprehensif terhadap akta notaris.
"Akta notaris adalah dokumen hukum yang memiliki kekuatan otentik, sah, dan mengikat. Arbiter wajib menafsirkannya secara menyeluruh agar esensi dari kesepakatan para pihak tidak terdistorsi. Jika tafsir terhadap akta ini sepotong-sepotong, maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat dan bisa dibatalkan," ujar Fajri.
Ia juga menambahkan bahwa jika terbukti putusan BANI tersebut memenuhi syarat untuk ditinjau kembali atau dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesuai Pasal 70 UU Arbitrase.
"Jika ada pelanggaran prosedur atau substansi, maka pembatalan oleh pengadilan adalah langkah yang sah dan sesuai hukum," tambahnya.
(inh)