PT Mitora meminta klarifikasi dari Yayasan Purna Bhakti Pertiwi (YPBP) terkait penyelesaian utang sebesar Rp104 miliar yang tercantum dalam Surat Tugas No. 01/Pem-YHK/ST/VI/2019 tertanggal 3 Juli 2019. Utang ini berkaitan dengan pengelolaan lahan dan aset, termasuk Museum Purna Bhakti Pertiwi yang saat ini tidak beroperasi.
Executive Assistant Director PT Mitora, Deny Ade Putera, menyebut pihaknya menghormati pengakuan utang dari YPBP. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari yayasan untuk menyelesaikan tanggungan tersebut atau memberikan kejelasan mengenai status Museum Purna Bhakti Pertiwi.
"Penutupan museum ini menimbulkan banyak pertanyaan dari publik, mengingat nilai sejarahnya yang erat kaitannya dengan era pemerintahan Soeharto," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (9/12).
Ia pun berharap pihak yayasan dapat memberikan klarifikasi atas status museum tersebut, termasuk alasan di balik penutupan dan bagaimana rencana ke depannya.
Menurut Deny, museum yang sebelumnya menjadi simbol sejarah masa pemerintahan Presiden Soeharto ini kini terbengkalai, memicu spekulasi publik terkait tanggung jawab pengelolaannya.
Maka dari itu, menurutnya, kejelasan dari pihak keluarga Cendana dan yayasan sangat dinantikan, baik mengenai penyelesaian utang maupun masa depan museum yang selama ini dianggap memiliki peran penting dalam sejarahIndonesia.
Di sisi lain, kuasa hukum Mitora, OC Kaligis, telah mengajukan upaya hukum untuk membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang dinilai penuh kejanggalan.
Menurutnya, proses hukum yang saat ini berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyebutkan putusan BANI tersebut mengandung ketidaksesuaian hukum dan fakta.
"Putusan BANI tersebut tidak mencerminkan keadilan dan ada banyak kejanggalan dalam prosesnya. Kami telah mengajukan upaya pembatalan di PN Jakarta Pusat agar perkara ini bisa diselesaikan secara transparan dan adil," imbuh dia.
Ia pun menilai proses hukum ini menunjukkan bahwa persoalan utang antara YPBP dan Mitora tidak hanya soal tanggung jawab finansial, tetapi juga melibatkan aspek legal yang lebih kompleks.
"Dengan kasus yang terus bergulir, publik semakin mendesak adanya klarifikasi terbuka dari pihak keluarga Cendana dan yayasan terkait langkah penyelesaian utang dan nasib Museum Purna Bhakti Pertiwi," pungkas OC Kaligis.
Sementara itu, YPBP sejauh ini belum memberikan keterangan terkait polemik dengan Mitora ini.
Sebagai informasi, mengutip dari CNBC Indonesia, sengketa antara Mitora dan YPBP bermula dari Perjanjian Kerja Sama yang dituangkan dalam Akta Notaris Nomor 13 tanggal 17 April 2014.
Dalam perjanjian tersebut, Mitora mengklaim telah menjalankan kewajibannya, termasuk menyusun master plan, mempresentasikan proyek, dan mendanai operasional selama periode tertentu.
Namun dalam perjalanannya, Mitora diputus telah melakukan Cedera Janji (Wanprestasi) terhadap perjanjian tersebut oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdasarkan Putusan Nomor 47013/11/ARB-BANI/2024.
Merespons hal ini, kuasa hukum Mitora, OC Kaligis, menyatakan keberatan atas putusan BANI tersebut. Sehingga, Mitora secara resmi mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan putusan BANI.
(rir)