Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai tuntutan satu tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan terhadap mantan karyawan PT Hive Five milik Jhon LBF, Septia Dwi Pertiwi, adalah hal yang keliru.
Menurut ICJR, penggunaan UU ITE tahun 2016 sebagai dasar menghukum Septia adalah keliru.
"Sehingga berdasarkan asas legalitas, dakwaan seharusnya batal demi hukum," demikian dilansir dari unggahan ICJR di akun Instagram resminya dikutip Minggu (15/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ICJR menuturkan UU ITE tahun 2016 sudah tidak berlaku karena terdapat revisi kedua lewat UU 1/2024. Meskipun kasus Septia terjadi pada 2023 sebelum UU 1/2024, berdasarkan asas legalitas harus menggunakan UU 1/2024.
ICJR menilai langkah jaksa penuntut umum (JPU) yang menggunakan dakwaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE 2016 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 36 jo Pasal 51 ayat 2 UU ITE 2016 tentang pelanggaran yang menyebabkan kerugian bagi orang lain serta ancaman pidananya di Pasal 45 ayat 3 UU ITE melanggar asas legalitas sebagai prinsip hukum pidana yang diakui oleh Indonesia.
Terdapat sejumlah perubahan fundamental terhadap Pasal-pasal tersebut dalam UU 1/2024. Utamanya mengenai ketentuan pidana yang lebih ringan dibanding UU ITE 2016.
Atas dasar kekeliruan itu, ICJR pada 8 Desember lalu telah mengirimkan amicus curiae ke majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
ICJR menjelaskan terdapat asas lex favor reo yang berarti apabila terdapat perubahan suatu peraturan perundang-undangan, maka diterapkan aturan yang paling meringankan bagi terdakwa. Prinsip ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.
Terhadap kasus Septia, seharusnya yang digunakan adalah UU ITE 2024. Oleh karena JPU telah keliru menerapkan dasar hukum, kata ICJR, konsekuensinya adalah surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum.
"Bahwa selain kesalahan mendasar dalam dakwaan terhadap terdakwa Septia, majelis hakim juga perlu mempertimbangkan upaya yang dilakukan oleh terdakwa sebagai pekerja dari pelapor Jhon LBF untuk mengungkap fakta demi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat 7 UU ITE 2024 tidak dapat dipidana," ucap ICJR.
"Kami memohon majelis hakim untuk memutus bebas terdakwa Septia," tandasnya.
Sebelumnya, Septia yang merupakan mantan karyawan PT Hive Five dituntut dengan pidana satu tahun penjara buntut dari kritik upah di bawah UMP. Septia juga dituntut membayar denda sebesar Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Menurut jaksa, Septia telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer pada Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 36 jo Pasal 51 ayat 2 UU ITE.
Septia merupakan mantan Staf Marketing PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five) yang menerima gaji pokok sebesar Rp4 juta. Septia merupakan pemilik akun X (dulu Twitter) @septiadp.
Dugaan pencemaran nama baik berawal dari Septia yang merasa dizalimi sebagai karyawan Hive Five karena hak-haknya sebagai karyawan tidak dipenuhi, lalu disebut dengan sengaja membuat postingan dan/atau memberikan komentar di Twitter yang dianggap mencemarkan nama baik Jhon LBF.
Dalam fakta persidangan, saat diperiksa sebagai saksi, Jhon LBF mengakui memberikan upah di bawah UMP, tidak memberikan upah lembur, mengakui mengancam pemecatan dan potong gaji jika telat membalas chat, serta melarang karyawan untuk berekspresi dan bersosialisasi.