Yusril soal Tannos Diduga Bukan WNI Lagi: Saat Korupsi Dia Warga Apa?
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra angkat suara terkait dugaan perpindahan Kewarganegaraan buronan kasus korupsi E-KTP Paulus Tannos.
Yusril menegaskan meskipun saat ini Tannos diduga telah menjadi Warga Negara (WN) Afrika Selatan, akan tetapi aksi korupsi tersebut dilakukan ketika masih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
"Ketika dia sedang melakukan kejahatan itu dia warga negara apa? Dan saya kira belakangan dia baru pindah ke Warga Negara Afrika Selatan," ujarnya kepada wartawan, Jumat (24/1).
"Sementara ini kita masih menganggap yang bersangkutan adalah Warga Negara Indonesia," imbuhnya.
Di sisi lain, Yusril mengatakan pemerintah saat ini juga masih menunggu tanggapan dari otoritas Singapura terkait status kewarganegaraan Tannos.
Apabila memang dipertanyakan, ia memastikan pemerintah akan memberikan bukti-bukti pendukung bahwa yang bersangkutan ketika itu pernah menjadi WNI dan terlibat aksi korupsi.
"Ketika pemerintah Singapura menganggap dia bukan WNI, kita juga bisa membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah WNI, khususnya pada saat kejahatan itu terjadi," tuturnya.
Sebelumnya KPK bergerak ke Singapura untuk mengurus ekstradisi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) Paulus Tannos yang berstatus buron.
"Benar bahwa Paulus Tannos tertangkap di Singapura dan saat ini sedang ditahan," ujar Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Jumat (24/1).
Hingga berita ini ditulis, proses ekstradisi Paulus Tannos masih berlangsung.
"KPK saat ini telah berkoordinasi dengan Polri, Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum sekaligus melengkapi persyaratan yang diperlukan guna dapat meng-ekstradisi yang bersangkutan ke Indonesia untuk secepatnya dibawa ke persidangan," kata Fitroh.
Paulus Tannos selaku Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP bersama tiga orang lainnya pada Agustus 2019.
Tiga orang tersebut ialah mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Isnu Edhy Wijaya; anggota DPR 2014-2019 Miriam S. Haryani; dan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.
PT Sandipala Arthaputra menjadi salah satu pihak yang diperkaya terkait proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara hingga Rp2,3 triliun tersebut. Perusahaan itu disebut menerima Rp145,8 miliar.
Walaupun menjadi anggota konsorsium terakhir yang bergabung, perusahaan milik Paulus mendapat pekerjaan sekitar 44 persen dari total keseluruhan proyek e-KTP senilai Rp5,9 triliun.
Sebelum ini, KPK telah lebih dulu memproses hukum sejumlah orang. Mereka ialah mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan anggota DPR Markus Nari, dua pejabat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yakni Irman dan Sugiharto.
Kemudian Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pihak swasta Andi Agustinus, Made Oka Masagung, serta keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi.
(tfq/gil)