Koalisi masyarakat sipil mengirim surat secara terbuka kepada Komisi III DPR RI soal pembahasan revisi UU KUHAP yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2025.
Perwakilan koalisi dari LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengatakan berdasar hasil kajian berbagai organisasi masyarakat sipil, KUHAP yang sudah berlaku sejak 1981 tidak lagi memadai jadi rujukan utama dalam menjalankan proses peradilan pidana di Indonesia.
Koalisi mendorong pembaruan KUHAP segera dilakukan karena KUHP hasil revisi yang disahkan pada 2023 akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setidaknya berdasarkan pemantauan, laporan, dan hasil kajian berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi, kami menilai KUHAP yang sudah diberlakukan sejak Desember 1981, sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman maupun kebutuhan terkait dengan perkembangan sistem peradilan pidana," kata Fadhil di Kompleks Parlemen, Senaya, Senin (10/2).
Fadhil mengatakan setidaknya ada delapan poin krusial yang perlu diatur masuk ke dalam substansi pembahasan pembaruan KUHAP.
Pertama, perbaikan kerangka dasar sistem peradilan pidana dengan menjadikan RUU KUHAP sebagai rekodifikasi hukum acara pidana yang berpegang teguh pada prinsip due process of law, mekanisme checks and balances, serta penghormatan pada hak asasi manusia.
Kedua, memperjelas syarat-syarat objektif untuk dapat melakukan upaya paksa, memperkuat mekanisme checks and balances antar APH saat proses pelaksanaan upaya paksa, serta membentuk mekanisme uji upaya paksa yang objektif ke pengadilan.
Ketiga, penguatan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana. Keempat, pengaturan dan pengujian perolehan alat bukti.
Kelima, penyelarasan pengaturan tentang penyelesaian perkara di luar persidangan yang sekarang tersebar di berbagai peraturan internal lembaga penegak hukum,1 melalui mekanisme diversi dengan ruang lingkup tindak pidana dan syarat-syarat yang objektif, serta melibatkan penetapan diversi dari pengadilan (penguatan checks and balances).
Keenam, perbaikan pengaturan mengenai upaya hukum. Ketujuh, memperkenalkan mekanisme keberatan atas tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang lebih efektif dari pra-peradilan.
Kedelapan, perbaikan pengaturan hak korban, terutama hak korban (pelapor) untuk mengajukan keberatan/komplain ketika laporannya tidak ditindaklanjuti, hak korban untuk memperoleh informasi dan dilibatkan secara aktif dalam peradilan pidana, serta hak korban untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan secara utuh atas kerugian yang dialami dari tindak pidana (restitusi, kompensasi, dan dana bantuan korban).
Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan terhadap KUHAP, koalisi menyatakan setidaknya terdapat 177 pasal dalam KUHAP 1981 yang sudah tidak lagi relevan dan perlu diubah dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi manusia, peneguhan prinsip due process of law, dan penguatan mekanisme check and balances.
(yoa/tsa)