Aliansi Perempuan Indonesia ikut menggelar aksi di depan gedung DPR, Senayan, menuntut agar hasil revisi UU TNI yang baru disahkan untuk dibatalkan.
Salah satu perwakilan aksi mengatakan pengesahan RUU TNI yang baru saja dilakukan DPR menjadi pintu masuk bagi militer ke ranah sipil. Kondisi itu dinilai bisa menimbulkan trauma kolektif bagi kaum perempuan.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengingatkan dahulu TNI secara organisasi berperan aktif dalam kegiatan represif terhadap Gerakan Wanita Indonesia. Selain itu, TNI juga dinilai berperan dalam aksi pembunuhan terhadap buruh perempuan Marsinah.
"Sebelum Orba dan reformasi, TNI memberikan trauma yang sangat mendalam kepada teman-teman gerakan perempuan. Kami mungkin banyak yang masih muda, tapi narasi dari trauma kolektif itu sangat melekat," ujarnya.
Aliansi Perempuan Indonesia menilai dengan situasi militer saat ini yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.
Melainkan penyempitan, pembatasan dan pengurangan jumlah atau posisi TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.
"Jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi karena banyaknya aparat militer yang terlibat dalam konflik-konflik masyarakat, apalagi penggunaan frasa 'sesuai dengan kebijakan presiden' akan mengakibatkan hadirnya konflik kepentingan dalam ranah sipil," tegasnya.
Hari ini, RUU TNI resmi disahkan jadi undang-undang di tengah kritik publik. Warga menilai RUU TNI ini menjadi pintu masuk bangkitnya dwifungsi angkatan bersenjata.
Koalisi masyarakat sipil menggelar demo sejak pagi di depan gedung DPR. Mereka masih bertahan sampai siang ini.
(tfq/tsa)