Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong menerbitkan 21 Persetujuan Impor (PI) gula selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada periode 12 Agustus 2015-27 Juli 2016.
Hal itu terungkap dalam agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (1/7).
"Ada berapa PI selama saudara menjabat yang langsung saudara tanda tangan terkait dengan penugasan gula ini?" tanya jaksa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat itu saya tidak hitung, saya tidak memonitor atau tracking spesifik ya, tapi setelah pemeriksaan tahun lalu oleh Kejaksaan, kemudian oleh tim penasihat hukum saya, dihitung katanya ada 21 izin impor yang diterbitkan di saat masa jabatan saya sebagai Menteri Perdagangan," tutur Tom.
Tom mengaku tidak ingat dari jumlah itu ada berapa yang langsung ia tandatangani. Namun, dia menjelaskan persetujuan impor tersebut dalam rangka mengatasi stok gula yang menipis.
"Dari 21 PI yang saudara terbitkan tadi, apa sebenarnya tujuan dari yang saudara ingin capai dengan menerbitkan 21 PI tadi?" tanya jaksa lagi.
"Tujuannya tentunya adalah untuk mengisi kebutuhan gula nasional sesuai diskusi dalam Rakortas (antar-kementerian) dan membentuk stok gula nasional maupun stok gula di berbagai tingkat daerah guna mencapai tujuan kebijakan yang diarahkan oleh bapak Presiden [Joko Widodo]," kata Tom.
Dalam kesempatan itu, Tom mengakui menerbitkan surat persetujuan perpanjangan waktu operasi pasar gula kepada Ketua Umum Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR).
"Apa yang melatarbelakangi sehingga saudara mengeluarkan surat tersebut dan memperpanjang waktu operasi pasar khususnya gula yang diberikan kepada koperasi tadi?" tanya jaksa.
"Pada saat itu, tentunya saya baru menjabat 14 hari dan tentunya sebagaimana lazimnya surat-surat seorang menteri itu dirancang oleh pejabat struktural di sektor yang terkait. Jadi, pada saat itu sudah pasti saya menandatangani surat tersebut atas usul dan masukan dari bawahan saya yang mengurus hal terkait ya," terang Tom.
"Apakah juga saudara merujuk pada surat menteri yang sebelumnya?" lanjut jaksa.
"Kelihatannya begitu," jawab Tom.
Jaksa lantas menanyakan surat perpanjangan masa operasi pasar gula yang kembali diterbitkan Tom pada 26 Agustus 2015. Padahal, dalam surat sebelumnya, masa operasi pasar gula hanya berlaku paling lambat sampai 7 hari setelah Idulfitri.
"Apa yang menjadi pertimbangan saudara sehingga memperpanjang waktu pelaksanaannya? Yang tadinya di surat menteri yang lama hanya 7 hari setelah Lebaran, ini diperpanjang sampai 31 Desember 2015?" timpal jaksa.
"Saya sebagai Menteri Perdagangan yang cukup luas, mulai dari perdagangan internasional, sampai perdagangan dalam negeri, perdagangan luar negeri, perlindungan konsumen, dan sebagainya. Jadi, memang di bulan Agustus-September saya sangat-sangat mengandalkan sistem, tentunya dari segi hal substantif sangat mengandalkan pejabat-pejabat karier, petugas karier, pejabat struktural yang memang sudah lama di Kementerian Perdagangan dan memberikan sebuah kontinuitas atas kebijakan yang sudah berjalan, di mana ini tentunya adalah perpanjangan dari sebuah penugasan yang sudah diberikan oleh para pendahulu," ungkap Tom.
"Sebagaimana saya sampaikan di sidang yang lain, di kementerian biasanya ada lembar kontrol. Ada sebuah sistem, termasuk approval, persetujuan berjenjang dari bawah ke atas. Dari eselon bawah ke eselon atas. Juga ada sistem tata usaha menteri di mana ada staf-staf yang juga merupakan pejabat dan bagian struktural. Jadi, selama sebuah surat sudah melewati proses dan prosedur sebagaimana sudah establish berjalan lama, kemudian ya saya menyetujui," imbuhnya.
Tom didakwa merugikan keuangan negara sejumlah Rp515 miliar, merupakan bagian dari kerugian keuangan negara sebesar Rp578 miliar dalam kasus ini.
Dia disebut menyetujui impor gula tanpa melalui rapat koordinasi dengan lembaga terkait.
Atas perbuatannya, Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(ryn/wis)