Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin mengaku pihaknya tak pernah dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah.
Padahal, menurut Afif, pertimbangan dalam putusan itu menyangkut kerja-kerja KPU sebagai penyelenggara pemilu. Hal itu, kata dia, berbeda saat MK memutuskan pemilu serentak lewat amar putusan nomor 55/PUU-XVII/2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah ini di antara yang memang tidak meminta keterangan kami sebagai penyelenggara meskipun alasannya sama dengan kesimpulan banyak pihak," kata Afif dalam diskusi Fraksi PKB di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7).
Menurut dia, putusan MK terbaru nomor 135/PUU-XXII/2024 tak memberikan opsi apapun baik kepada pemerintah, DPR, atau penyelenggara pemilu untuk menentukan perbaikan model pemilu.
Sementara, pada putusan 55, MK memberikan enam opsi model penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak suara.
"Kalau 55 kan suruh milih nih. Termasuk opsi yang terbuka, terserah pilihannya apa. Sekarang udah disuruh kamu harus pilih ini. 135 ini begitu," katanya.
Dalam amar putusannya, pada 26 Juni 2025, MK memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.
Pemilu nasional terdiri dari pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Sejumlah pihak mengkritik putusan itu karena dinilai paradoks dari putusan sebelumnya agar pemilu digabung dan digelar dalam sekali dalam lima tahun. Putusan MK juga disebut akan berimbas pada perpanjangan masa jabatan anggota legislatif tingkat daerah.
"MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi," kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat alias Rerie dalam konferensi pers di NasDem Tower, Senin (30/6).
(fra/antara/fra)