Pakar Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menyebut DPR RI dan pemerintah yang dinilai panik, bahkan kebakaran jenggot usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu nasional dan pemilu daerah dipisah.
Misalnya, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menduga DPR RI mencak-mencak dengan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 karena kepentingannya terganggu. Ia menyebut parlemen ngebet untuk menggelar pilkada tidak langsung, yakni memilih kepala daerah dengan penunjukan langsung oleh DPRD.
"Itu yang barangkali dugaan saya kenapa partai pada mencak-mencak, 'Kenapa kemudian harus dipilih serentak lagi, mending sudah di DPRD'," kata pria yang akrab disapa Uceng itu dalam Webinar CALS via Zoom, Minggu (6/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau misalnya presiden dipilih oleh MPR, maka kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kalau presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Karena ada dua opsi itu, makanya keluar kata dipilih secara demokratis," tegasnya.
Uceng menegaskan poin tersebut tertuang dalam Pasal 18 Amandemen ke-2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ia menegaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, yakni diartikan sebagai pemilihan secara langsung oleh rakyat.
"Jangan kemudian seakan-akan mau diatur pengangkatan itu (kepala daerah oleh DPRD) secara keseluruhan dalam UU Pemilu sehingga putusan MK mau ditolak. Kalau betul pengangkatan, atur saja beberapa daerah khusus," sarannya.
"Jangan sampai kemudian ketika dinaikkan kembali perdebatan-perdebatan lama yang tidak pas itu, saya khawatir kesimpulan DPR malah ingin mengubah undang-undang MK-nya karena dianggap bahwa MK sudah tidak bisa dikendalikan. Ini berbahaya," khawatir Zainal Arifin.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari. Ia menegaskan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyelamatkan banyak hal, termasuk dari niat pemerintah yang diduga ingin menggolkan sistem pilkada tidak langsung.
Feri mengaku mendengar sudah banyak pihak di DPR RI yang sepakat bahwa sistem pemilu lokal akan diubah dan diserahkan kepada DPRD. Menurutnya, seluruh fraksi di parlemen telah menyepakati konsep tersebut.
"Hemat saya, bahwa ini ada keinginan untuk mengembalikan konsep pemilu di tingkat daerah melalui pemilihan tidak langsung ... Hari ini mereka (DPR RI) justru tidak nyaman kalau pemilu nasional dan pemilu lokal dengan konsep langsung itu ditegaskan oleh Mahkamah (MK)," tutur Feri.
"Perlu juga ditegaskan kepada DPR dan pemerintah bahwa jangan mencari-cari alasan hanya karena kepentingan fraksi yang tidak sehat, yang jauh menentang konstitusi. Ini kalau terbongkar bahwa ujung-ujungnya hanya untuk tidak memastikan pemilu langsung yang lebih tidak konstitusional, maka ini perlu dipertanyakan," tegasnya.
Di lain sisi, Feri mengungkapkan bahwa ada senior-senior pakar hukum tata negara yang 'bermain' dalam keributan ini. Ia menyebut sejumlah pihak itu sudah menyusun bagaimana skema melanggengkan skema pemilu lokal secara tidak langsung.
Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti bahkan menduga MK bakal bernasib sama seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni dilemahkan. Ia menyebut ancaman itu bisa terjadi karena DPR kebakaran jenggot dengan putusan MK yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu.
"Kok DPR kayak kebakaran jenggot betul? Sehingga yang ingin kami katakan adalah jangan sampai ini MK di-KPK-kan. Karena kita paham KPK dulu sudah 'terlalu efektif' ... Karena terlalu efektif, KPK-nya dibunuh 2019 pakai UU dan memasukkan orang yang enggak benar ke dalam KPK sehingga menghancurkan dari dalam," tutur Bivitri.
"Bukan tidak mungkin MK juga akan dibegitukan, jangan-jangan sampai juga amandemen konstitusi (UU MK) ... Yang harus disadari adalah kalau DPR mau menyalahgunakan wewenangnya untuk membuat undang-undang, mendorong amandemen memilih hakim MK, 3 di antaranya dipilih oleh DPR, untuk merusak MK karena tidak suka dengan putusan, itu merusak negara hukum!" tegasnya.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irma Lidarti. Ini membuat penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah.
Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut akan ada rapat koordinasi agar fraksi-fraksi bisa menyampaikan pendapatnya terhadap putusan MK tersebut. Ia mengklaim 8 fraksi di DPR saat ini masih mengkaji secara internal putusan MK.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut pemerintah bakal membentuk tim pengkaji. Ini diisi oleh Kemensetneg, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum.
Anak buah Presiden Prabowo Subianto itu menegaskan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 membawa implikasi besar bagi sistem kepemiluan di Indonesia. Ia menyebut putusan itu tak cuma berdampak secara formal atas amar putusan belaka, melainkan turut mempengaruhi teknis pelaksanaan pemilu.
(skt/pta)