72 Mobil Milik Sritex Disita: Alphard, Lexus 570 hingga Maybach S500
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita total 72 mobil dari berbagai merek di kasus korupsi pemberian fasilitas kredit perbankan kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menyebut penyitaan dilakukan penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus di Gedung Sritex 2 Sawah, Banmati, Kecamatan Sukoharjo, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Senin (7/7).
"Adapun penyitaan dilakukan terhadap 72 kendaraan roda empat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (9/7).
Harli mengatakan puluhan kendaraan itu terdiri berbagai merek antara lain Lexus 570, Toyota Alphard, Mercedes Benz Maybach S500, Tata, Honda, Subaru, Bevrley Tahun 1996 hingga Toyota Avanza.
Ia menjelaskan dari total kendaraan itu sebanyak sepuluh mobil dititipkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Jakarta Barat dan Tangerang Banten.
Sementara 62 kendaraan lain dititipkan di Gedung Sritex 2, Sukoharjo yang dijaga oleh 10 anggota TNI dan Pegawai Kejaksaan Negeri Sukoharjo selagi proses pencarian tempat yang aman dan memadai.
"Dengan ketentuan sewaktu-waktu jika di perlukan untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan atau eksekusi agar yang bersangkutan wajib menyerahkan kembali barang titipan tersebut," jelasnya.
Ia mengatakan penyitaan dilakukan dengan alasan benda atau surat yang digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan berkaitan dengan tindak pidana.
Serta, benda atau surat yang berada dalam penguasaan tersangka atau pihak lain, sepanjang relevan dengan perkara.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan total tiga orang sebagai tersangka terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit dari perbankan kepada PT Sritex.
Ketiga tersangka itu Eks Dirut PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto; Direktur Utama Bank DKI periode 2020, Zainuddin Mappa; dan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB periode 2020, Dicky Syahbandinata.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menyebut kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp692 miliar.
Qohar menyebut nilai kerugian itu sesuai besaran kredit dari Bank DKI dan Bank BJB yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja. Ia menjelaskan uang kredit yang seharusnya dipakai untuk modal kerja itu justru digunakan untuk membayar utang dan membeli aset non produktif.
"Tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya, yaitu untuk modal kerja tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif," jelasnya.
(tfq/gil)