Di Sidang MK, Saksi Ungkap Teror Diduga Terkait Penolakan RUU TNI

CNN Indonesia
Senin, 14 Jul 2025 23:13 WIB
Wakil Koordinator KontraS mengungkap teror pascainterupsi RUU TNI. Dia laporkan intimidasi fisik dan digital terkait advokasi penolakan RUU tersebut.
Suasana sidang uji materi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus mengungkapkan rentetan aksi teror pascainterupsi yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terkait RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Maret lalu.

Andrie mengaku mendapatkan sejumlah teror. Dia mengaku ditelepon nomor tak dikenal.

Dari hasil pengecekan dari nomor itu, kata Andrie, didapati identitas teridentifikasi berinisial T dan menunjukkan ada afiliasi dengan tagar nama beragam seperti Forkabin (Forum Kerukunan Bina Insan), Den Intel Dam Jaya, dan Cakra 45.

"Alih-alih aspirasi kami diakomodasi, kami malah mendapatkan rentetan peristiwa teror baik fisik, digital hingga serangan melalui hukum atau biasa disebut kriminalisasi yang kami duga berkaitan erat dengan advokasi penolakan erat penolakan RUU TNI," kata Andrie di persidangan MK, Jakarta Pusat, Senin (14/7).

Andrie yang dihadirkan sebagai saksi oleh pemohon perkara nomor: 81/PUU-XXIII/2025 mengungkapkan bentuk teror lainnya.

Dia mengatakan Kantor KontraS yang berada di Kwitang, Jakarta Pusat, didatangi oleh orang tak dikenal yang mengaku-aku dari media massa. Andrie menjelaskan biasanya permintaan wawancara atau janji temu di kantor dengan jurnalis dilakukan dengan komunikasi sebelumnya, sedangkan malam itu tidak ada komunikasi apa pun.

Pada dini hari selanjutnya, lanjut dia, ada sekitar 5-6 orang tak dikenal mendatangi kantor KontraS di titik yang tidak terpantau kamera pengawas (CCTV).

Semua orang tak dikenal itu rata-rata memiliki ciri berbadan tegap, menggunakan celana jeans ketat, sambil menenteng tas selempang.

Tak hanya itu, dalam sidang ini, Andrie dilaporkan ke polisi atas aksi interupsi di Hotel Fairmont dengan sangkaan Pasal 172, Pasal 212, Pasal 217, Pasal 503, dan Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Laporan polisi itu dia ketahui dari sejumlah jurnalis yang meminta pendapat dirinya atau konfirmasi mengenai laporan polisi tersebut.

Andrie menegaskan aksi interupsi dilakukan karena cara persuasif untuk mendapat dokumen-dokumen legislasi yang resmi berkaitan dengan RUU TNI tidak digubris pembentuk Undang-undang. Menurut dia, aksi interupsi itu harus dilaksanakan sebelum pengesahan RUU TNI yang dijadwalkan pada 20 Maret 2025.

"Sehingga kemudian kami menilai tidak ada waktu lagi untuk menunggu kapan dokumen-dokumen itu setidaknya diunggah dan bisa diakses oleh publik untuk dapat kami teliti dan pelajari hingga memberikan masukan. Oleh karena itu, atas berbagai macam pertimbangan kami lakukan interupsi Fairmont dengan maksud untuk mengingatkan DPR untuk membuka partisipasi publik namun tidak terbatas pada dokumen-dokumen legislasi," kata Andrie.

Sementara itu, ahli yang dihadirkan pemohon yakni Deputi Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan pengesahan UU 3/2024 tentang TNI dilaksanakan dengan melanggar tahapan perencanaan dan penyusunan.

Selain itu, pembahasan dilakukan dengan tidak memperhatikan asas keterbukaan sehingga berdampak tidak tercapainya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

"Dokumen perencanaan, dokumen Prolegnas (Program Legislasi Nasional), kami sangat anggap itu sebagai komitmen awal pembentukan legislasi satu tahun ke depan. Dokumen itu yang kami jadikan dasar untuk berpartisipasi. Partisipasi publik tidak akan muncul Bapak/Ibu ketika tidak ada transparansi di awal, surat-surat seperti itulah yang dijadikan oleh kami untuk dasar," jelas dia.

Mengutip dari laman MK, di sisi lain, DPR baru menyerahkan keterangan Ahli/Saksi pada Jumat (11/7/). Padahal ada ketentuan harus disampaikan ke MK paling lambat dua hari kerja sebelum persidangan digelar.

Atas dasar itu, MK pun akan mengagendakan ulang Mendengar Keterangan Ahli/Saksi dari DPR pada Senin (21/7).

Sebagai informasi, sidang hari ini digelar sekaligus untuk Perkara Nomor 45, 56, 69, 75, 81/PUU-XXIII/2025.

Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 dimohonkan tujuh mahasiswa yaitu Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R Yuniar A Alpandi.

Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025 dimohonkan para mahasiswa di antaranya Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.

Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 dimohonkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) beserta perseorangan lainnya Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty.

Para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Asas dimaksud di antaranya asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; asas dapat dilaksanakan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas kejelasan rumusan; serta asas keterbukaan.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pembentukan UU 3/2025 tentang Perubahan atas UU 34/2004 tentang TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945.

Mereka juga meminta MK menyatakan UU 3/2025 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan UU 34/2004 tentang TNI berlaku kembali.

(ryn/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER