Polda Metro Jaya akan mengumumkan hasil autopsi kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arya Daru Pangayunan (ADP), hari ini, Selasa (29/7).
Polisi membutuhkan waktu sekitar 21 hari untuk mengumumkan hasil penyelidikan dan autopsi penyebab kematian Arya Daru ke publik.
Selama proses penyelidikan dan autopsi itu, banyak spekulasi di ruang publik terkait penyebab kematian Arya Daru. Ada yang menduga Arya Daru sebagai korban pembunuhan hingga bunuh diri.
Spekulasi dugaan pembunuhan menyeruak karena saat ditemukan, kondisi jasad Arya Daru tidak alami. Dia ditemukan tewas dengan wajah terlilit lakban kuning. Selain itu, sosoknya juga dianggap penting karena pernah menangani kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Tanda tanya penyebab kematian Arya Daru coba dijawab ahli psikologi forensik Reza Indragiri dan kriminolog UI Adrianus Meliala.
Menurut Reza, ada empat kemungkinan penyebab kematian ADP: alami, bunuh diri, dibunuh orang lain, atau kecelakaan.
Dari keempat itu, ia menyisakan dua yang paling relevan: bunuh diri atau kecelakaan.
"Dari 4 kemungkinan situasi, menurut saya yang tertinggal hanya 2 kemungkinan saja. Yaitu almarhum, maaf barangkali meninggal akibat keputusannya sendiri atau almarhum meninggal akibat sebuah kecelakaan. Sudah barang tentu ini juga sifatnya spekulatif. Simpulan definitif ada di kepolisian," kata Reza dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Minggu (27/7).
Meski demikian Reza menyatakan publik tetap berhak mempertanyakan keterbukaan polisi, terutama karena kasus ini menjadi sorotan.
Reza memahami munculnya kecurigaan publik karena status almarhum sebagai diplomat muda.
Ia menilai ruang spekulasi terbuka luas karena ada anggapan bahwa pekerjaan ADP menyangkut isu-isu sensitif.
Namun, ia menegaskan pentingnya mempercayai hasil investigasi berbasis bukti ilmiah ketimbang asumsi.
"Kalau kemudian kerja-kerja saintifik itu sudah dilakukan secara memadai, berarti sudah objektif. Tentu saya lebih memilih untuk mempercayai hasil simpulan yang diperoleh lewat cara-cara yang objektif, yang saintifik ketimbang berdasarkan asumsi belaka," katanya.
Reza juga menyoroti pentingnya autopsi psikologis untuk memperkuat analisa, termasuk menelusuri rekam jejak kejiwaan almarhum melalui dokumen pribadi atau wawancara dengan orang terdekat.
Ia menilai pendekatan ilmiah dan lintas disiplin dapat meminimalkan spekulasi liar.
"Melakukan kerja-kerja saintifik dengan lintas keilmuan. Baik itu autopsi kedokteran maupun autopsi psikologis. Autopsi psikologis bisa dilakukan dengan pemeriksaan dokumen atau riwayat kesehatan," kata Reza.
Ia mengingatkan, jika kesimpulan polisi bertolak belakang dengan persepsi masyarakat, maka tantangan terbesar bukan hanya mengungkap fakta, melainkan juga bagaimana menyampaikannya secara tepat.
"Maka agenda terbesar yang harus dipikirkan oleh pihak kepolisian bukan lagi pada pengungkapan kasusnya, tapi justru bagaimana mengkomunikasikan sebuah temuan yang ternyata bertolak belakang dengan anggapan publik. Kerjaan satu ini memang harus penting dipikirkan agar kemudian tidak memberi efek kontraproduktif bagi kepolisian," ujarnya.
Kriminolog UI Adrianus Meliala menduga ADP tewas karena bunuh diri.
"Sebagai kriminolog, saya lebih suka ini pembunuhan, adrenalinnya lebih naik. Cuma, faktanya ada tidak?" kata dia dalam acara Prime Plus CNN Indonesia TV.
"Dengan TKP sekecil itu, maka tidak ada orang kedua itu. Kecuali kalau TKP besar, di luar, maka ada kemungkinan orang datang tidak kelihatan. Ini TKP di kamar kos. Maka ketika tidak ada yang mendukung, ditambah dengan adanya sidik jari di lakban, maka makin memperkuat [bunuh diri]," imbuhnya.
Meski demikian, Adrianus tetap memberikan catatan atas dugaan bunuh diri ADP.
"Bahwa bunuh diri dengan menahan, menghentikan jalan nafas itu menyakitkan. Maka, mesti ada alat bantu, apakah itu obat tidur atau lainnya yang membuat dia bisa rileks. Nah, apakah itu benar, [kita] tidak tahu, tergantung datanya," kata dia.
Ia juga menyoroti spekulasi publik di kasus ini. Adrianus berpendapat wajar ada spekulasi di masyarakat. Namun, dia berkata spekulasi itu merupakan amatan di luar TKP.
Publik berspekulasi karena melihat pekerjaan almarhum, kesibukannya dan hal lain di luar TKP.
"Tapi jangan lupa, berangkat lah dari TKP. Karena disitulah fakta. Saya yakin yang dilakukan polisi dengan mengundang dokter forensik untuk autopsi, mengundang ahli digital untuk digital forensik, mengundang beberapa orang bahkan katanya sudah 15, menyita beberapa barang, mengolah TKP berkali-kali," kata dia.
Adrianus pun mengimbau polisi tidak terjebak dalam spekulasi dan persepsi publik dalam mengungkap penyebab kematian ADP.
"Dalam asas hukum, ada namanya beyond reasonable doubt, di atas ambang keraguan. Oke, kita ragu, tapi terlepas dari keraguan itu, inilah yang terjadi. Solusi sebetulnya, kalau keraguan itu 10 persen, 20 persen, itu ok," katanya.
Komisioner Kompolnas Choirul Anam menyebut kasus teka-teki kematian Arya sudah semakin terang. Rencananya, kepolisian akan segera mengungkapnya ke publik pada Selasa (29/7) hari ini.
Hal ini disampaikan Anam usai menghadiri rapat evaluasi penyelidikan kasus kematian bersama sejumlah pihak di Polda Metro Jaya, Senin kemarin.
"Hari ini peristiwanya kemarin terang, dan tadi semakin terang ya. Nah, habis itu penyebab kematiannya juga udah jelas, tinggal diumumkan saja sama Polda Metro Jaya," kata Anam kepada wartawan.
(wis/tim/gil)