ANALISIS

Menakar Politik Persatuan Usai Kasus Hasto

CNN Indonesia
Selasa, 05 Agu 2025 10:46 WIB
Seruan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri terhadap kadernya agar mendukung pemerintahan Prabowo Subianto menguatkan politik persatuan penguasa. (Dok. Twitter/@bang_dasco)
Jakarta, CNN Indonesia --

Seruan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri terhadap kadernya agar mendukung pemerintahan Prabowo Subianto menguatkan politik persatuan pemerintahan saat ini.

Megawati menyebut PDIP tidak memosisikan diri sebagai oposisi pemerintahan, melainkan partai penyeimbang.

Menurutnya, keberpihakan bukan perkara berada di dalam atau luar pemerintahan, melainkan soal sikap setia pada kebenaran dan berpijak pada moralitas politik yang diajarkan Sukarno.

"PDIP tidak memosisikan sebagai oposisi dan juga tidak semata-mata membangun koalisi kekuasaan. Kita adalah partai ideologis yang berdiri di atas kebenaran, berpihak pada rakyat dan bersikap tegas sebagai partai penyeimbang demi menjaga arah pembangunan nasional tetap berada dalam rel konstitusi dan kepentingan rakyat banyak," kata Megawati dalam Kongres VI di Bali, Sabtu (2/8).

Pernyataan itu disampaikan Megawati satu hari setelah kader PDIP Hasto Kristiyanto dikeluarkan dari penjara berkat amnesti yang diberikan Prabowo.

Sikap tersebut disambut positif oleh Gerindra sebagai partai Prabowo. Mantan Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani menyatakan Megawatisempat bilang pemerintahan hasil pemilihan umum harus terus didukung.

"Ibu Mega dalam banyak kesempatan ketemu kami juga seperti itu, bahwa pemerintah hasil pemilihan umum ini harus didukung supaya pemerintah memiliki efektivitas dalam menjalankan kekuasaannya," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Minggu (3/8).

Lantas, seperti apa baik dan buruk politik persatuan ini?

Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP) menyebut desain institusional ketatanegaraan di Indonesia memang mengharuskan lembaga legislatif dan eksekutif untuk saling bekerja sama.

Kerja sama tersebut diperlukan guna terselenggaranya efektivitas pemerintahan.

Sebaliknya, kata Cus, ketika kedua lembaga tersebut tidak bisa bekerja sama dengan baik, dikhawatirkan pemerintahan akan berjalan tidak efektif yang berujung pada instabilitas demokrasi sebagaimana. Hal itu sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak ilmuwan menyoal sistem presidensial multipartai.

"Dari sinilah elite politik akan menyiasati dengan membangun koalisi parpol pendukung pemerintah di parlemen," kata Cus saat dihubungi, Senin (4/8) malam.

Namun, menjadi masalah ketika pola hubungan eksekutif-legislatif didasarkan pada kartelisasi politik, dan ditambah ketika parpol berbondong-bondong untuk gabung dengan koalisi pemerintahan.

Cus memahami sudah menjadi rahasia umum bahwa meski dalam sistem demokrasi, baik koalisi maupun oposisi adalah posisi yang sama-sama penting dan terhormat.

Akan tetapi, menurut dia, pilihan menjadi oposisi tidak akan banyak memberi insentif terutama berkaitan dengan akses terhadap sumber daya materiil yang jelas diperlukan bagi keberlangsungan parpol itu sendiri.

"Masalah kartelisasipolitik dan menggelembungnya parpol koalisi pendukung pemerintah jelas berdampak buruk bagi demokrasi, checks and balances yang seharusnya menjadi keniscayaan dalam demokrasi menjadi melemah, yang pada ujungnya kondisi tersebut justru kondusif bagi terjadinya penggelembungan kekuasaan, yang menjadi salah satu faktor utama kemunduran demokrasi kita," imbuhnya.

Cus yang juga Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang ini menambahkan PDIP akan sulit menjadi oposisi sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar publik.

Selain masalah insentif sebagai oposisi yang terbatas tadi, terang Cus, juga karena sebagian elite politik di PDIP cenderung menerapkan gaya berpolitik yang kompromi terhadap pemerintahan.

Hal itu membuat Megawati selaku pemimpin partai akan mempertimbangkan untuk menjaga keseimbangan politik dalam internal partai.

"Ini adalah masalah serius dalam politik Indonesia saat ini, yang dikhawatirkannya akan semakin memperburuk demokrasi. Bahkan, kondisi belakangan sudah mengindikasikan bahwa kita memasuki era yang disebut sebagai rezim otoriterisme kompetitif," kata lulusan Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjajaran ini.

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memandang memang seharusnya semua pihak mendukung pemerintah.

Dia memahami ada perbedaan dukungan dari masing-masing pihak. Parpol bisa mendukung pemerintah dengan cara mengawasi dan berpihak pada kepentingan publik melalui kekuasaan legislatif dengan menghadirkan regulasi yang menjaga kepentingan publik agar tidak disalahgunakan oleh penguasa.

"Jika itu maksud Megawati, maka ia sudah benar," kata Dedi.

Namun, Dedi mengingatkan publik khawatir yang dimaksud Megawati adalah mendukung pemerintah secara kapital, tidak memperhatikan publik. Kata dia, hal itu berisiko karena kekuasaan akan dijalankan dengan dominan dan tentu menjadikan publik sebagai objek kekuasaan.

"PDIP dengan posisi strategis di DPR harusnya menjadi oposisi atau pembangkang di kekuasaan agar Prabowo tidak sewenang jalankan kekuasaan," ucap Dedi.

"Tetapi publik mulai memahami mengapa PDIP harus tunduk ke penguasa, bisa jadi posisi Puan sebagai pimpinan bukan hasil dari perjuangan PDIP, melainkan hasil lobi politik, termasuk amnesti pada Hasto sangat mungkin berdampak pada sikap PDIP," ujarnya.

(CNN Indonesia/Fajrian)

(fra/ryn/fra)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK