Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) sekaligus pentolan relawan pemilu, Immanuel Ebenezer dalam kasus dugaan pemerasan di lingkungan instansinya.
Noel ditangkap pada Rabu (20/8) malam di Jakarta. Esoknya, KPK menyita total 22 kendaraan dari berbagai jenis milik Noel. Halaman KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pun menjadi showroom dadakan.
Di media sosial, OTT Noel lebih menjadi bahan cemoohan warganet. Sejumlah akun media sosial mengunggah janji-janji lama Noel baik sebelum maupun setelah menjadi pejabat publik. Mulai dari usulannya agar pejabat korupsi dihukum mati, maupun aksi sidaknya ke beberapa perusahaan yang menyita ijazah pegawai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Noel ditangkap hanya sekitar 300 hari sejak dilantik menjadi Wakil Menteri bersamaan dengan pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024. Total ada 14 orang yang ditangkap dalam perkara itu.
Namun, hingga berita ini ditulis, KPK belum mengungkap secara lengkap duduk perkara kasus tersebut, dan rencananya baru akan disampaikan hari ini, Jumat (22/8).
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto hanya menyebut kasus yang melibatkan Noel diduga berupa tindak pidana pemerasan terhadap perusahaan-perusahaan terkait pengurusan sertifikasi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja).
Menurut Fitroh, dugaan pemerasan yang dilakukan Noel sudah lama dan angkanya cukup besar. Tim penindakan KPK telah menyita uang miliaran serta puluhan mobil dan motor mewah dalam operasi senyap tersebut.
Terpisah, Presiden RI Prabowo Subianto disebut telah mendapatkan laporan soal OTT Noel. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan Presiden tak akan ikut campur dan mempersilakan KPK untuk menjalankan prosesnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah 'Castro' mengaku tak kaget dengan kasus tersebut. Pertama, Noel selaku Wamenaker memiliki otoritas untuk melakukan aksinya.
Dalam kasus itu, kata Castro, ada upaya yang diduga sengaja dilakukan Noel untuk menggunakan kekuasaannya untuk memeras pihak-pihak yang membutuhkan sertifikasi K3. Menurut dia, logika korupsi selalu terjadi dalam hubungan antara pemilik kewenangan dan pengguna.
"Jadi logika korupsi itu selalu berbicara di mana ada otoritas, maka ada potensi penyalahgunaan kewenangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi," kata Castro saat dihubungi, Jumat (22/8).
"Tidak mengherankan ya kalau Immanuel ditangkap oleh KPK," imbuhnya.
Kedua, terang Castro, merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Noel bisa dijerat Pasal 12 huruf E terkait pemerasan. Pasal itu menyebutkan, penyelenggara negara yang meminta secara paksa meminta kepada orang untuk kepentingan pribadi, dan bisa terancam hukuman hingga 20 tahun.
"Kecuali kalau kita bandingkan dengan konstruksi pihak swasta ya beda lagi, UU-nya di KUHP. Tapi karena Immanuel adalah penyelenggara negara dalam hal ini menteri, maka itu bisa dikenakan ketentuan Pasal 12 huruf E, dalam UU Tipikor," kata dia.
Ketiga, Castro menilai kasus OTT Noel menunjukkan di internal pemerintah Presiden Prabowo memiliki masalah dengan pemberantasan korupsi. Menurutnya, kasus itu membuktikan kekhawatirannya di awal bahwa Prabowo tak terlalu memiliki kepentingan dalam pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahannya.
"Dan orang-orang semacam ini saya kira banyak dalam pemerintahan Prabowo yang sejak awal saya ragukan, dan saat ini terkonfirmasi satu demi satu," kata Castro.
"Sekarang terkonfirmasi kalau orang-orang di sekeliling Prabowo memang bermasalah. Dan jantung masalahnya justru ada pada prabowo, karena dia terlalu permisif dengan orang-orang bermasalah," imbuhnya.
Sementara, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai OTT Noel sama sekali tak belum menunjukkan komitmen Prabowo dalam pemberantasan korupsi. Zaenur terutama menyoroti pidato Prabowo pada 15 Agustus lalu terkait janji intoleransinya terhadap koruptor.
Pada kesempatan itu, kata dia, Prabowo menyebut korupsi terjadi di semua lini, dan kini dia semakin mengetahui setelah 300 hari memimpin.
Namun, kata Zaenur, komitmen itu baru berhenti pada level pidato, belum sampai pada kebijakan. Sebab, dia mengaku belum melihat perbaikan dalam institusi penegak hukum, maupun dukungan Presiden untuk mengesahkan instrumen aturannya, termasuk RUU Perampasan Aset hingga RUU KPK.
"Jadi saya lihat misalnya Presiden Prabowo tidak mengembalikan independensi KPK, tidak kunjung mendorong agar RUU Perampasan Aset disahkan, RUU Pembatasan uang kartal, itu enggak ada kan," kata Zaenur, Kamis (21/8).
Sebaliknya, Presiden justru mengobral remisi dan pembebasan bersyarat terhadap para napi korupsi baru-baru ini, menjelang HUT Kemerdekaan RI. Menurut dia, kebijakan itu dinilai mengurangi efek jera para pelaku korupsi.
Zaenur menilai pidato Presiden tidak cukup dalam kerja pemberantasan korupsi. Dia menilai pidato harus dibarengi dengan implementasi kebijakan.
"Orang tidak takut hanya diceramahi, orang itu takut kalau dia dimiskinkan, kalau dia dipidana lama, dirampas asetnya, dia akan menerima konsekuensi dari perbuatannya, itu orang baru takut, jadi deterrent effect-nya di situ," kata Zaenur.
Dia menilai kasus Noel harus menjadi momentum pemerintah untuk berkaca. Dan lebih mirisnya, kata Zaenur, di waktu yang padahal KPK belum selesai mengusut dugaan tenaga kerja asing (TKA) di lembaga yang sama.
"Itu kasus belum selesai sudah ada kasus baru. Itu menunjukkan penyakitnya begitu akut, di mana-mana. Artinya ini menjadi PR di KPK, dan pasien ini, Kemenaker, agar setiap upaya penindakan selalu dibarengi dengan perbaikan sistem," kata dia.