Forum khusus Papua di MPR atau MPR for Papua mengkritik penanganan aparat dalam aksi unjuk rasa di Kota Sorong, Papua Barat Daya, pada Rabu (27/8).
Aksi itu dipicu oleh pemindahan dari Sorong ke Makassar empat anggota Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB) yang menjadi terdakwa kasus makar. Berdasarkan data internal MPR For Papua, demo tersebut telah makan korban baik dari warga maupun aparat.
Ketua MPR for Papua Yorrys Raweyai menyayangkan jatuhnya korban dalam peristiwa tersebut. Menurut dia, penyampaian aspirasi adalah hak konstitusional yang tidak seharusnya berujung pada bentrok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Unjuk rasa dijamin oleh konstitusi. Setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat di ruang publik. Tugas aparat adalah memberikan rasa aman agar aspirasi bisa tersampaikan dengan baik," kata Yorrys dalam keterangannya, Kamis (28/8).
Dia juga menyoroti pola penanganan aparat yang dianggap tidak terukur. Menurut Yorrys, aparat mestinya melakukan pendekatan persuasif dan humanis dalam mengawal aksi massa.
"Kapolri sudah dengan tegas menginstruksikan agar aparat mengedepankan pendekatan persuasif, humanis, dan profesional dalam menghadapi aksi unjuk rasa. Jika masih ada korban jiwa, berarti ada yang keliru dalam pelaksanaannya," ujar Wakil Ketua DPD RI itu.
Dia membandingkan penanganan demonstrasi di Sorong dengan aksi di Jakarta beberapa hari sebelumnya. Meski sempat ricuh, aparat disebut mampu menahan diri sehingga tidak ada korban meninggal.
Sekretaris Jenderal MPR for Papua, Filep Wamafma, juga mengkritik keras aparat. Ia menilai unjuk rasa di Sorong merupakan wujud kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemindahan tahanan yang dianggap sewenang-wenang.
"Pemindahan empat tapol yang diduga melakukan makar itu sesungguhnya tidak memiliki alasan yang cukup kuat. Maka wajar jika masyarakat mengkritisi kebijakan tersebut," ujar Filep.
Ketua Komite III DPD RI itu menekankan polemik tapol seharusnya diselesaikan dengan dialog dan melibatkan berbagai pihak. Ia menilai langkah sepihak aparat justru kontraproduktif.
"Tindakan sepihak aparat hanya akan menghambat upaya bersama yang selama ini dibangun untuk menjadikan Tanah Papua sebagai Tanah Damai," pungkasnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, massa menolak pemindahan terdakwa kasus makar disidangkan di Makassar. Massa menuntut agar keempat terdakwa dibebaskan.
Pada April lalu, empat orang inisial AGG, PR, MS dan NM telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan makar oleh pihak mengaku petinggi NRFPB.
"Ia benar tadi sudah digelar perkara dan ada empat orang sudah resmi menjadi tersangka dalam kasus NFRPB," ujar Kapolresta Sorong Kota, Kombes Happy Perdana kepada wartawan, Selasa (28/4).
Polisi menangkap setidaknya 10 orang dalam aksi tersebut yang diduga sebagai provokator. Kapolda Papua Barat Daya Brigjen Pol Gatot Haribowo menjelaskan saat ini 10 orang yang diduga terlibat kericuhan telah diamankan masih menjalani pemeriksaan. Dia tidak menutup kemungkinan jumlah pelaku yang diamankan bertambah.
"Karena kita masih dalami kasus ini sehingga masih dimungkinkan pelaku bisa bertambah," jelas Kapolda di Markas Kepolisian Resor Kota (Polresta) Sorong, seperti dikutip dari Antara.