Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Hendarto selaku Pemilik PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) dan PT Mega Alam Sejahtera (MAS) pada grup PT Bara Jaya Utama (BJU) dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Penahanan dilakukan selama 20 hari pertama, dilakukan setelah Hendarto menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada hari ini.
"KPK kembali menetapkan dan menahan satu orang tersangka yakni saudara HD," ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (28/8) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemberian fasilitas kredit oleh LPEI ini diduga mengakibatkan kerugian negara mencapai lebih dari Rp11 triliun.
Dalam kasus ini, KPK sudah lebih dulu memproses hukum lima orang tersangka per Maret 2025. Mereka ialah Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan.
Kemudian Direktur Utama PT PE Newin Nugroho; Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal atau Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin; dan Direktur Keuangan PT PE Susy Mira Dewi Sugiarta.
Hendarto selaku pemilik PT SMJL dan PT MAS diduga melakukan pertemuan dengan Kukuh Wirawan selaku Direktur Pelaksana I LPEI untuk membahas dan memuluskan proses pencairan fasilitas kredit oleh LPEI.
Dalam pertemuan tersebut, Hendarto menyampaikan kebutuhan penambahan fasilitas pembiayaan baru dan tambahan untuk PT SMJL yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan PT MAS yang bergerak di bidang tambang.
Permohonan tersebut ditanggapi positif oleh Dwi Wahyudi yang selanjutnya memerintahkan Kukuh Wirawan untuk memproses pemberian pembiayaan melalui pengondisian pengajuan Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP) atas perusahaan milik Hendarto.
Asep menambahkan kedua perusahaan yang dimaksud mendapatkan pembiayaan atau fasilitas kredit dari LPEI berupa Kredit Investasi Ekspor (KIE) dan Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) dengan rincian sebagai berikut:
Pada periode Oktober 2014 hingga Oktober 2015, PT SMJL mendapatkan fasilitas KIE sebanyak dua kali dengan total mencapai Rp950 miliar untuk refinancing kebun kelapa sawit dengan luas lahan inti sekitar 13.075 Ha di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, dengan jangka waktu 9 tahun sejak 25 November 2014 sampai dengan 25 Oktober 2023.
Sementara PT SMJL mendapat KMKE senilai Rp115 miliar, yang diperuntukkanrefinancingkebun kelapa sawit milik PT SMJL.
Kemudian, untuk PT MAS, pada April 2015 mendapat fasilitas dari LPEI sebesar US$50 juta (sekitar Rp670 miliar - berdasarkan kurs dolar pada 2015).
Dalam pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT SMJL, terang Asep, ada niat jahat (mens rea) baik dari pihak debitur maupun dari kreditur.
Pihak debitur mengajukan kredit dengan menggunakan agunan berupa lahan kebun sawit yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
Di mana Izin Pembukaan Lahan dan Izin Usaha Perkebunan PT SMJL telah dicabut, dan tidak akan terbit Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) dikarenakan berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi serta tidak memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan atas PT SMJL.
Sedangkan pihak kreditur memproses MAP PT SMJL untuk memenuhi prosedur pembiayaan dan menyetujuinya dengan menerbitkan Memorandum Keputusan Pembiayaan pada 2014, padahal diketahui isi dari MAP tersebut dengan sengaja mengabaikan ketentuan dan prinsip-prinsip pembiayaan yang telah diatur dalam peraturan LPEI.
Sementara itu, PT MAS disebut tidak layak mendapat pembiayaan sebesar US$50 juta, dengan alasan terjadi eksposur dana alias investasi besar-besaran kepada grup PT BJU pada saat harga batu bara sedang mengalami penurunan yang berpotensi ketidakmampuan membayar kewajiban pinjaman.
Dalam proses penyidikan, kata Asep, KPK menemukan serangkaian permohonan KIE dan KMKE yang diajukan oleh PT SMJL pada Oktober 2015 sebenarnya telah melanggar kesalahan prosedural yang ditujukan mengurangioutstandingkredit PT MAS berdasarkan memorandum analisis pembiayaan (MAP) oleh LPEI.
(ryn/asa)