ANALISIS

Banjir Besar Bali dan Alih Fungsi Lahan Serampangan

CNN Indonesia
Kamis, 11 Sep 2025 15:57 WIB
Sebagian wilayah Bali porak poranda diterjang banjir besar pada Rabu (10/9). (CNN Indonesia/Kadafi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sebagian wilayah Bali porak poranda diterjang banjir besar pada Rabu (10/9). Pemerintah Provinsi Bali menetapkan tanggap darurat bencana selama satu minggu setelah banjir membuat kota menjadi lumpuh.

Data per hari ini, Kamis (11/9), pukul 11.00 WIB, sebanyak 14 orang meninggal dunia dan 2 warga masih hilang di Kota Denpasar. Rincian korban meninggal yakni di Kota Denpasar 8 jiwa, Kabupaten Jembrana 2 jiwa, Kabupaten Gianyar 3 jiwa, dan Kabupaten Badung 1 jiwa.

Tercatat 562 warga mengungsi. Rinciannya 327 warga di Kabupaten Jembrana dan 235 warga di Kota Denpasar. Fasilitas umum seperti sekolah, balai desa, musala dan banjar dimanfaatkan sebagai pos pengungsian sementara.

BPBD Provinsi Bali mencatat lebih dari 120 titik banjir yang menerjang tujuh wilayah administrasi kabupaten dan kota. Jumlah paling tinggi wilayah terdampak banjir berada di Kota Denpasar dengan 81 titik.

Sedangkan di Kabupaten Gianyar terdapat 14 titik, di Kabupaten Badung 12 titik, Kabupaten Tabanan 8 titik, Kabupaten Karangasem dan Jembrana masing-masing 4 titik. Di Kabupaten Klungkung, banjir berdampak di Kecamatan Dawan.

Sedangkan untuk tanah longsor, sebanyak 12 titik terdapat di Kabupaten Karangasem, 5 titik di Kabupaten Gianyar dan 1 titik di Kabupaten Badung.

Mengapa banjir di Bali berdampak separah ini?

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali menuturkan banjir tersebut merupakan sebuah fenomena yang sebenarnya mengulang kembali kenyataan bahwa Bali sangat rentan diterpa bencana cuaca ekstrem yang diperparah krisis lingkungan.

Beberapa faktor utamanya yaitu alih fungsi lahan, penerapan tata ruang yang tidak selaras dengan prinsip perlindungan lingkungan, serta pembangunan infrastruktur ekstraktif.

"Bencana ini merupakan bencana terbesar dalam satu dekade terakhir," kata Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/9).

Krisna mengatakan hujan deras yang dipicu fenomena gelombang ekuatorial Rossby bukan menjadi faktor tunggal yang menyebabkan kerusakan parah.

Rossby ekuator adalah fenomena atmosfer di kawasan khatulistiwa yang bergerak ke barat. Fenomena yang terbentuk akibat rotasi bumi dan pengaruh gaya Coriolis tersebut bisa memicu pertumbuhan awan hujan serta memengaruhi intensitas hujan.

"Namun kita juga mesti objektif melihat jika pola pembangunan Bali yang masif mengubah bentang alam terutama akibat pembangunan mega proyek serta infrastruktur akomodasi pariwisata adalah pemicu utama dalam menyebabkan alih fungsi lahan persawahan yang secara langsung akan mendegradasi Subak," ujarnya.

Subak adalah sistem irigasi persawahan tradisional, memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan distribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air.

Krisna mengutip pakar pertanian dan Guru Besar di Fakultas Pertanian Universitas Udayana yakni Prof. I Wayan Windia, jumlah Subak kian hari semakin berkurang. Dinas Kebudayaan Bali pada tahun 2018 mencatat jumlah Subak sebanyak 1.596.

Krisna bilang bahkan saat ini ada 5 subak yang hilang, di Denpasar ada Subak Kreneng dan Subak Renon.

Dia mengatakan setiap 1 hektare sawah mampu menampung 3.000 ton air apabila tinggi airnya 7 cm.

Apabila lahan pertanian dan Subak makin banyak berubah atau beralih fungsi menjadi bangunan, tentu hal tersebut akan mengganggu sistem hidrologis air alami yang ada. Air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga mendatangkan banjir seperti yang terjadi saat ini.

"Jika ditambah dengan hilangnya 98 titik Subak akibat beralih fungsi menjadi jalan tol, maka Jumlah Subak akan berkurang terus menjadi 1.498 Subak, dan apabila Subak terus menghilang maka Subak di tahun 2030 pasti akan habis (Dr. Made Geria, 2019)," tutur Krisna.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Mitigasi Bencana dan Masalah Sampah


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :