Keponakan Prabowo Mundur Usai Kontroversi, Pejabat Lain Kapan?
Belum genap satu tahun setelah dilantik, Politisi Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengundurkan diri sebagai anggota DPR periode 2024-2029. Melalui unggahan di akun Instagramnya, Sara mengaku mundur karena pernyataannya telah melukai hati masyarakat.
Pernyataan yang dimaksud, yakni saat ia mengajak masyarakat untuk menjadi pengusaha daripada bergantung pada pemerintah. Sara menyadari tak mudah untuk memulai usaha dan memahami pernyataan itu telah melukai banyak pihak.
"Kesalahan sepenuhnya ada di saya. Oleh sebab itu, melalui pesan ini, saya ucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas ucapan dan kesalahan saya," kata dia.
Mundurnya keponakan Presiden Prabowo Subianto itu terjadi di tengah banyaknya kritik terhadap sejumlah Anggota DPR karena pernyataan dan aksi yang dinilai menyakiti hati masyarakat.
Gimik politik?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengingatkan masih banyak masyarakat Indonesia menilai langkah Sara mundur dari DPR RI hanya sebatas gimik politik.
Terlebih, jika ke depan Sara justru ditempatkan pada jabatan elite lain sebagai pengganti kemundurannya dari DPR.
"Maka Sara sama saja mengelabui harapan publik yang inginkan anggota DPR berintegritas," ujarnya saat dihubungi, Jumat (12/9).
Kendati demikian, Dedi mengakui sikap Sara cukup bijak. Terlepas dari adanya kemungkinan motif politik, menurutnya, keputusan mundur dengan argumentasi rasa bersalah karena telah memicu kemarahan publik layak diapresiasi.
"Tokoh lain akan sangat baik jika mengikuti jejak Sara, meskipun dalam praktik pengganti mereka belum tentu lebih baik, tetapi sekurangnya agenda publik mereka respon dengan benar," kata Dedi.
Sindir politikus buruk tak kunjung mundur
Sementara, Dedi Direktur Arus Survei Indonesia (ASI) Ali Rif'an menilai Sara telah menunjukkan sikap berbeda dengan anggota DPR lain yang mendapat tekanan keras dari publik, namun tidak mengambil langkah itu.
"Di tengah hari ini dimana DPR sedang disorot oleh publik, mendapat kritik keras oleh publik, para pejabatnya pongah, komunikasinya buruk, dan sikapnya tidak mengindahkan. Kemudian ada seorang anggota DPR yang bernama Sara mundur diri, sementara yang lain didorong mundur pun enggak mundur-mundur," kata Ali.
Ali mengatakan langkah Sara itu juga merupakan kabar baik bagi dunia politik. Pasalnya, politisi selama ini dianggap sulit melepaskan jabatan. Ia mencontohkan pejabat yang tetap bertahan meski menghadapi desakan mundur dari masyarakat.
"Bahkan kalau bisa mempertahankan jabatan sampai titik-titik di daerah penghabisan. Seperti katakanlah Bupati Pati. Didemo sedemikian dahsyat masyarakatnya dituntut mundur, toh sampai sekarang tidak mundur," ujarnya.
Mungkinkah bisa seperti pejabat di Jepang?
Di Jepang, baru-baru ini Perdana Menteri Shigeru Ishiba mundur dari jabatannya. Mundurnya perdana menteri di Jepang bukan yang pertama. Sudah beberapa kali PM Jepang mundur dengan alasan yang berbeda-beda namun merujuk pada tanggungjawab sebagai pejabat publik yang gagal dijalankan.
Bahkan Menteri Pertanian Jepang mundur hanya gara-gara berkomentar soal beras yang dinilai tidak pantas.
Dedi Kurnia Syah menyoroti perbandingan budaya pejabat di Indonesia dengan di Jepang. Menurutnya, budaya pejabat di Jepang yang tak segan mundur itu masih cukup jauh untuk bisa diterapkan di Indonesia.
"Indonesia masih cukup jauh mengejar budaya itu, setidaknya pejabat atau elit di Indonesia harus belajar meminta maaf, lalu mengakui kekeliruan dengan cara seperti Sara, mundur bukan aib dalam politik kita, justru itu yang akan jadi penenang kemarahan publik," katanya.
Sementara Ali Rif'an berpendapat seharusnya di Indonesia, mundur bukan hanya berlaku bagi pejabat karena blunder atau pernyataan kontroversial.
Tetapi ketika target-target kinerja tidak tercapai, tradisi mundur juga perlu dilakukan.
"Kalau ini terjadi, ini positif bagi bangsa Indonesia," katanya.
Untuk kursi Menpora?
Sementara itu, Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai langkah Sara mundur dari DPR RI cukup mengagetkan. Menurutnya, kesalahan yang dilakukan Sara lewat pernyataannya sebenarnya bukan hal mayor.
"Ini kan soal perdebatan substantif, gagasan tentang memandang siapa yang menciptakan lapangan kerja, pemerintah secara institusional, struktural atau inisiatif pribadi secara personal. Ini kan nggak ada masalah, nggak ada yang benar dan salah, masing-masing punya rasionalisasi, punya argumentasi kuat," kata Agung.
Ia mengapresiasi keputusan tersebut meski berpendapat sebenarnya tidak perlu dilakukan.
"Kenapa saya kemudian mikir, apakah ini hanya antara ya untuk hal yang lain, karena kan di saat yang sama, dia punya semacam kekuatan, sumber daya yang solid untuk melangkah ke jenjang manapun," katanya.
Agung pun menyinggung kemungkinan kaitan mundurnya Sara dengan posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang belakangan kosong setelah adanya reshuffle.
"Sukar misalkan untuk tidak mengaitkan ini dengan posisi lowong di Menpora. Makanya saya meng-endorse dia untuk, kalau memang diarahkan untuk apa namanya, terlibat di Menpora ya, amanah tersebut diterima saja. Ya, karena ini bisa menjadi ruang bagi beliau untuk berkreasi," ujarnya.