KontraS Ungkap Dugaan Kekerasan Seksual Terhadap Pedemo di Surabaya

CNN Indonesia
Kamis, 25 Sep 2025 09:15 WIB
Ilustrasi. KontraS Surabaya mengungkap, sejumlah orang yang ditangkap dalam rentetan demonstrasi ricuh di Surabaya mengalami dugaan penganiayaan hingga kekerasan seksual. (iStockphoto/Serhii Ivashchuk)
Surabaya, CNN Indonesia --

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mengungkap, sejumlah orang yang ditangkap dalam rentetan demonstrasi berujung ricuh di Surabaya 29-31 Agustus, mengalami dugaan penganiayaan hingga kekerasan seksual oleh aparat kepolisian.

Hal itu diungkap Kontras Surabaya melalui tayangan video yang diputar saat konferensi pers. Video itu menampilkan kesaksian dua orang korban penangkapan aparat, namun kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.

Korban pertama, Warno (bukan identitas sebenarnya) mengaku mengalami penganiayaan fisik saat ditangkap aparat dan selama proses pemeriksaan di Mapolrestabes Surabaya. Hal itu juga dialami 150-an orang lainnya yang ditangkap.

"Selang, tongkat, sabuk dipukulkan ke punggung berkali-kali. [jumlah orang yang mendapat tindak penganiayaan] sekitar 150-an," kata Warno dalam cuplikan video diputar KontraS, Rabu (24/9).

Sementara korban lain, Warni (bukan nama sebenarnya) membeberkan dugaan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya, ia mengaku dipaksa polisi untuk mengoleskan balsam pada alat vitalnya saat tes urine, secara bergantian dengan korban ditangkap lainnya.

"Pas tes urine alat kelamin kami dikasih balsam. Gantian saya ngasih balsam duluan [kemudian berlanjut]. Ya anak-anak [dipaksa] ayo kencing ayo kencing, terus misal kencingnya cuma satu tetes dua tetes langsung disikat [dipukul]," kata Warni.

Senada, Kabiro Kampanye HAM KontraS Surabaya, Zaldi Maulana mengatakan, kekerasan seksual tersebut terjadi saat proses tes urine, di mana kemaluan para korban dipaksa aparat untuk diolesi balsam. Dugaan kekerasan seksual itu dilakukan oleh aparat terhadap Warni dan sekitar 19 orang lainnya yang ditangkap.

"Jadi untuk teknisnya itu satu anak Si A [dipaksa] memberikan balsam kepada Si B, kemudian Si B memberikan balsam kepada si A secara pergantian gitu. Selain itu juga enggak boleh kalau semisal kelihatan ngasih balsam itu sedikit jadi harus banyak gitu kan. Kemudian mereka tidak diizinkan untuk pergi ke kamar mandi," ucapnya.

Akibat rentetan kekerasan itu, kondisi korban saat ini masih mengalami trauma psikologis. Terlebih kepada Warno yang masih berusia 18 tahun atau pelajar SMA.

"Untuk langkah hukum kami belum memutuskan, karena itu hak keputusan korban. Sampai hari ini kami masih terus berkoordinasi dengan orang tua, sebab kondisinya ini belum stabil masih ada rasa ketakutan," ujar Zaldi.

KontraS Surabaya mendesak Polri untuk menghentikan penangkapan massal, membebaskan seluruh tahanan, menghormati hak memilih penasihat hukum Independen dan menghentikan narasi kriminalisasi anarkisme.

Mereka juga meminta pemerintah untuk menegakkan penuh UU SPPA dan prinsip diversi bagi anak. Serta mendorong Komnas HAM dan PBB, serta Lembaga Independen lainnya untuk mengambil langkah tegas.

"Jangan diam! Segera lakukan investigasi dan jalankan fungsi dan mandat HAM. Mekanisme HAM PBB, jadikan kasus ini indikator lemahnya implementasi ICCPR, CRC dan CAT di Indonesia," katanya.

CNNIndonesia.com berupaya mengonfirmasi dugaan penganiayaan dan kekerasan seksual itu ke Kasi Humas Polrestabes Surabaya AKP Rina Shanty Dewi Nainggolan. Namun yang bersangkutan belum memberikan respons.

(frd/isn)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK