Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan keleluasaan dan kepastian hukum mengusut korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setelah Revisi UU BUMN disahkan menjadi UU.
Salah satu poin dalam UU BUMN mengatur penghapusan ketentuan anggota direksi, anggota dewan komisaris dan dewan pengawas bukan merupakan penyelenggara negara. Dampak aturan baru ini membuat para pejabat tersebut mesti membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka, UU tersebut menegaskan kembali keleluasaan dan kepastian hukum bagi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi pada sektor BUMN, baik dalam konteks penindakan maupun pencegahan," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dihubungi melalui pesan tertulis, Kamis (2/10).
"Sebagai Penyelenggara Negara, maka atas jabatan tersebut wajib melaporkan kepemilikan aset dan hartanya melalui LHKPN," imbuhnya.
Budi bilang dengan transparansi kepemilikan aset tersebut, diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen pencegahan korupsi yang efektif.
Demikian halnya dalam konteks penindakan, di mana salah satu batasan kewenangan KPK adalah terkait status penyelenggara negaranya.
"Sehingga dengan adanya UU ini menjadi klir," imbuhnya.
Pada prinsipnya, lanjut Budi, upaya-upaya pemberantasan korupsi tersebut juga untuk mendukung BUMN dalam menciptakan good corporate governance dengan iklim bisnis yang lebih efektif, efisien, dan berintegritas.
"KPK tentunya terbuka untuk terus melakukan pendampingan dan pengawasan, maupun bentuk-bentuk kolaborasi lainnya," pungkasnya.
Berikut 12 poin perubahan UU BUMN:
1. Pengaturan terkait lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang BUMN dengan nomenklatur Badan Pengaturan BUMN yang selanjutnya disebut BP BUMN.
2. Penegasan kepemilikan saham seri A Dwi Warna 1 persen oleh negara pada Badan BP BUMN.
3. Penataan komposisi saham pada perusahaan Induk Holding Investasi dan perusahaan Induk Operasional pada Badan Pengelola Investasi Danantara.
4. Pengaturan terkait larangan rangkap jabatan untuk menteri dan wakil menteri pada direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.
5. Penghapusan ketentuan anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN pada bukan merupakan penyelenggara negara.
6. Penataan posisi dewan komisaris pada Holding Investasi dan Holding Operasional yang diisi oleh kalangan profesional.
7. Pengaturan kewenangan pemeriksaan keuangan BUMN oleh Badan Pemeriksa Keuangan dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan BUMN.
8. Penambahan kewenangan BP BUMN dalam mengoptimalkan peran BUMN.
9. Penegasan kesetaraan gender pada karyawan BUMN yang menduduki jabatan direksi, komisaris, dan jabatan manajerial di BUMN.
10. Perlakuan perpajakan atas transaksi yang melibatkan badan, Holding Operasional, Holding Investasi, atau pihak ketiga yang diatur dalam peraturan pemerintah.
11. Pengaturan pengecualian penguasaan BP BUMN terhadap BUMN yang ditetapkan sebagai alat fiskal.
12. Pengaturan mekanisme peralihan status kepegawaian dari Kementerian BUMN kepada BP BUMN, serta pengaturan substansi lainnya.
(ryn/fea)