Kisah Dramatis Dokter Amputasi Tangan Santri Korban Ponpes Sidoarjo

CNN Indonesia
Jumat, 03 Okt 2025 20:14 WIB
Nur Ahmad, santri korban gedung Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, ambruk harus menjalani amputasi di tengah reruntuhan, Senin (29/9) malam. (AFP/JUNI KRISWANTO)
Jakarta, CNN Indonesia --

Nur Ahmad, santri korban gedung Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, ambruk harus menjalani amputasi di tengah reruntuhan, Senin (29/9) malam.

Tangan Ahmad tertimpa beton di dalam reruntuhan bangunan tiga lantai di Ponpes Al Khozinya yang ambruk tersebut. Ia menjalani amputasi di tempat demi menyelamatkan nyawanya.

Dokter Spesialis Ortopedi & Traumatologi, Larona Hydravianto terlibat dalam operasi penyelamatan tersebut. Ia pertama kali mendapat kabar mengenai kondisi korban dari direktur rumah sakitnya yang tengah berada di lokasi.

"Beliau menginformasikan ke saya bahwa, dr Rona, ini ada satu pasien yang posisinya itu hidup tapi lengan itu tertimpa reruntuhan bangunan, beton begitu, sehingga tim memang kesulitan untuk mengevakuasi," kata Larona dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Jumat (3/10).

"Sedangkan sudah beberapa kali dicoba untuk mengangkat beton tersebut kesulitan dan sangat berisiko, untuk malah semakin memperburuk keadaan," ujarnya menambahkan.

Mendapat laporan itu, Larona segera menuju lokasi. Ia menembus lorong sempit di bawah reruntuhan bersama tim SAR untuk melakukan asesmen awal.

"Saya cek nadi karotisnya, saya cek nadi moralis dan sebagainya, pasien coba saya sapa, saya panggil tapi pasien hanya diam, tapi mata terbuka, sambil nafas agak sengal, begitu. Nah kemudian setelah saya nilai, saya berpikir ya memang ini harus amputasi tidak bisa tidak," ujarnya.

Larona mengaku pihaknya tidak bisa menunggu lebih lama karena khawatir korban meninggal dunia. Menurutnya, mustahil beton yang menggencet tangan korban bisa diangkat.

"Memang sudah parah, sudah betul-betul tergencet sampai rata dengan lantai," katanya.

Meski sempat disarankan memotong dengan alat seadanya, Larona menolak. Ia menilai tindakan tergesa bisa memicu syok berat pada pasien.

"Saya bilang sebentar, saya akan keluar sebentar, saya meminta bantuan dari teman anestesi pertama untuk memberikan obat nyeri yang kuat dan bisa memberikan terapi cairan," ujarnya.

Larona menegaskan bahwa dalam situasi darurat, prioritas utama adalah menyelamatkan nyawa, bukan anggota tubuh. Menurutnya, keputusan amputasi di tempat menjadi langkah medis yang tak terhindarkan.

Setelah peralatan dan tenaga tambahan tiba, Larona bersama rekannya dan dokter anestesi kembali masuk ke dalam reruntuhan bangunan tempat korban terjebak. Ruang sempit membuat mereka hanya bisa bekerja bergantian.

Kondisi pasien yang mengalami syok membuat mereka harus memilih obat bius yang tidak membuat kondisi pasien semakin menurun.

"Saya memberikan obat-obatan melalui otot saya tusuk di pundak dari pasien ini dan setelah dievaluasi pasien sudah terbius dan tidak nyeri maka operasi saya minta untuk segera dilakukan seperti itu," kata salah satu tim dokter yang ikut melakukan operasi di tempat.

Proses amputasi berlangsung dengan segala keterbatasan alat dan ruang gerak. Larona menginstruksikan pemotongan di bagian sendi agar proses lebih cepat dan minim risiko.

Meski dilakukan di bawah tekanan dan risiko tinggi, tindakan itu berhasil menyelamatkan nyawa korban.

Setelah selesai korban dibawa untuk mendapatkan perawatan di RSUD RT Notopuro. Kondisi korban kini sudah berangsur membaik dan dalam perawatan.

Sampai malam ini jumlah korban tewas bangunan Ponpes Al Khoziny, Sidoarjo mencapai 13 orang. Mereka sudah berhasil dievakuasi dari dalam reruntuhan.

Dengan demikian masih ada sekitar 50 korban yang diduga tertimbun dalam reruntuhan gedung tiga lantai tersebut. Proses pencarian kini sudah menggunakan alat berat.

(fra/nat/fra)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK