Jakarta, CNN Indonesia --
Gedung tiga lantai termasuk musala di asrama putra Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur ambruk pada Senin (29/9) sore. Saat kejadian, ada ratusan santri sedang melaksanakan Salat Ashar berjemaah di gedung yang masih dalam tahap pembangunan tersebut.
Basarnas telah menuntaskan proses evakuasi pada Selasa (7/10). Data terakhir korban tewas mencapai 67 orang yang ditemukan, termasuk delapan bagian tubuh (body part). Total korban terevakuasi mencapai 171 orang, terdiri 104 korban selamat. Dari jumlah korban meninggal, baru 34 yang teridentifikasi.
Sejumlah keluarga meminta agar insiden itu diproses secara hukum. Fauzi (48), keluarga dari empat santri yang menjadi korban dalam insiden itu, menilai tanggung jawab hukum tidak boleh berhenti hanya karena status sosial seseorang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menerima bahwa musibah adalah bagian dari takdir, tapi kelalaian manusia tetap harus diselesaikan secara hukum. Sebab ia hanya ingin tragedi serupa tidak terulang dan kasus ini menjadi pelajaran bagi pesantren lainnya.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Al Khoziny, Abdus Salam Mujib hanya meminta maaf kepada wali santri atas insiden yang terjadi di pondok pesantrennya. Dia menyebut kejadian tersebut sebagai takdir Allah dan berharap semua keluarga bersabar.
"Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik. Diberi pahala yang sangat-sangat apa yang enggak bisa mengutarakan, mudah-mudahan yang dibalas dengan balasan kebaikan oleh Allah," kata Salam, Selasa (30/9).
Di sisi lain, Mujib menyebut insiden itu diduga disebabkan penopang cor tidak kuat. Kata dia, saat kejadian bangunan sedang dalam tahap pengecoran akhir di bagian atas atau dek.
"Sepertinya penopang cor itu tidak kuat. Jadi seperti menopang ke bawah. Ini pengecoran yang terakhir saja, itu jebol. Ya, hanya itu. (Proses pembangunan) sudah lama, sudah 9 bulan. Kurang lebih 9 sampai 10 bulan," sambungnya.
Sementara itu, Bupati Sidoarjo Subandi mengakui bangunan yang ambruk tersebut tak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Ia pun menyayangkan hal itu. Menurutnya banyak pesantren lebih mendahulukan pembangunan dan mengesampingkan faktor perizinan.
"Ini saya tanyakan izin-izinnya mana, tetapi ternyata enggak ada. Tadi ngecor lantai tiga, karena konstruksi tidak standar, jadi akhirnya roboh," kata Bupati.
Hingga kini, tidak ada pernyataan dari pesantren untuk siap bertanggung jawab terhadap kelalaian yang menewaskan santri mereka. Sementara itu, penemuan mobil mewah Mercedes-Benz atau Mercy yang ringsek di reruntuhan Ponpes diantara ke rumah Kiai masih misteri.
Ada pelanggaran hukum
Insiden gedung ambruk di Pondok Pesantren Al Khoziny yang menewaskan 67 orang memang sebuah takdir. Namun, sejumlah pakar menilai istilah itu tidak otomatis membuat insiden tak bisa dihindarkan jika pembangunan dilakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, mestinya ada pihak yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Sebab, peristiwa itu bukan terjadi karena bencana alam.
"Takdir kalau udah terjadi apapun penyebabnya itu takdir, tapi kan harus dicari sebabnya. Nah, sebabnya ini yang pelanggaran hukum," kata saat dihubungi, Rabu (8/10).
Fickar Hadjar menilai polisi mestinya tidak sulit untuk menunjuk pihak yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Sebab, insiden ambruknya gedung ponpes Al Khoziny bukan disebabkan karena peristiwa alam.
Saat ini, polisi perlu melakukan penyelidikan terlebih dahulu untuk memastikan penyebab gedung ambruk. Cara itu harus dilakukan dengan melibatkan ahli. Nantinya, polisi harus memanggil pihak yang bertanggung jawab dalam pembangunan gedung tersebut.
"Nah biasanya kan yang bangun itu, PT apa, tapi dia biasanya ngesub juga, yang ngerjain itu biasanya pemborong-pemborong kecil, itu nanti dilacak lagi," kata Fickar.
"Nah itu yang akan jadi tersangkanya itu, orang itu, orang yang bertanggung jawab terhadap pembangunan," imbuhnya.
Namun, cara itu bisa sulit dilakukan jika pembangunan dilakukan swadaya, misalnya oleh santri-santri, dan tak ada yang bertanggung jawab penuh. Namun, jika ada penanggung jawab terhadap proses pembangunan, aparat kepolisian mestinya tak kesulitan untuk menetapkan tersangka.
Bisa ditetapkan tersangka tanpa aduan
Lebih lanjut, Fickar menilai penetapan tersangka dalam insiden itu bisa dilakukan tanpa harus ada aduan. Menurut dia, polisi bisa langsung bertindak dan menetapkan tersangka karena merupakan delik umum.
Nantinya, polisi kata Fickar, bisa menggunakan Pasal 359. Pasal itu mengatur tindak pidana yang menyebabkan kematian seseorang karena kelalaian, 'Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.'
"Untuk pasalnya, karena kelalaiannya, penanggung jawab pembangunan bisa diproses pidana, minimal dengan Pasal 359 KUHP kalau korbannya ada yang luka atau mati, itu delik umum, bukan delik aduan, jika ada yang mati penegak hukum bisa langsung memproses," katanya.
Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nanang Avianto berjanji akan melakukan proses hukum terhadap tragedi ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khozyni yang menelan korban jiwa.
Proses hukum itu, kata Nanang, akan segera dilakukan, usai evakuasi seluruh korban berhasil dituntaskan.
"Jelas tetap nanti akan melakukan kegiatan proses [hukum] tapi yang utama sekarang ini adalah masalah kemanusiaannya dulu," kata Nanang saat meninjau proses evakuasi di lokasi kejadian, Jumat (3/10).
Pimpinan pesantren harus bertanggung jawab
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Achmad Munjid meyakini dalam insiden kecelakaan apapun tak ada faktor kesengajaan.
Tapi, dalam kecelakaan yang disebabkan oleh faktor kelalaian manusia (human made disaster), seperti kasus Al Khoziny, mestinya ada pimpinan pesantren yang diisi oleh Kiai yang bertanggung jawab.
"Dalam hal ini pimpinan pesantren harus bertanggung jawab secara hukum, sosial dan moral. Komunitas pesantren harus mengambil pelajaran amat mahal agar peristiwa serupa tak terulang," kata Munjid.
Menurut dia, tak ada yang keliru menyebut peristiwa gedung ambruk tersebut sebagai musibah. Begitu pula dengan kematian para korban yang juga sebagai takdir.
"Tapi tindakan kelalaian manusia yang menyebabkan kematian orang lain tak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. Seorang sopir yang lalai menabrak orang lain di jalan raya hingga menyebabkan kematian tak bisa lepas tanggung jawab dengan menyebut kematian korbannya sebagai takdir," kata dia.
Menurut Munjid, mendirikan bangunan didasarkan pada ilmu, dan memiliki hitung-hitungan, termasuk aturan, prosedur, maupun risiko. Konstruksi yang tak dihitung cermat akan ambruk jika dia dipaksa menanggung beban lebih dari kapasitas.
"Menurut saya, terlepas dari sikap keluarga, peristiwa ini adalah kasus hukum yang perlu diselesaikan secara hukum demi keadilan bersama, demi kebaikan semua," katanya.
Pemerintah juga harus tanggung jawab
Sementara, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta, Dzuriyatun Toyibah menjelaskan, dalam agama, sesuatu yang sudah terjadi disebut takdir. Tapi, sesuatu yang sudah menjadi takdir tetap bisa didiskusikan.
Dalam kasus Al Khoziny, guru besar sosiologi itu memandang, pesantren tradisional yang menjadi tempat belajar bagi masyarakat miskin, selama ini kurang mendapatkan perhatian dari negara sehingga tidak memenuhi standar fasilitas pendidikan yang layak.
Dzuriyatun menilai kasus Al Khoziny bukan semata kesalahan pesantren, namun juga sebagai bentuk abai negara dalam pembangunan pesantren untuk menjadi lembaga pendidikan yang layak.
"Kalau menurut saya, ada tanggung jawab pemerintah mengapa pembangunan lembaga pendidikan tidak sesuai standar," kata dia, Rabu (8/10).
Dzuriyatun mengaku tak memermasalahkan tradisi nguli dalam tradisi pesantren. Toh, menurut dia, tradisi itu selama ini digunakan tanpa perlu kemampuan khusus.
"Kalau untuk bangunan yang speknya tinggi, lantainya banyak tentu harus dilakukan secara profesional. Ada pengawasan dari ahli di bidangnya," kata dia.
Dzuriyatun meyakini insiden Al Khoziny bukan semata kesalahan pesantren. Namun, ada peran pemerintah yang selama ini abai terhadap kualitas pendidikan pesantren.
"Ada unsur tanggung jawab pemerintah karena pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa itu tanggung jawab pemerintah. Ada kontribusi masyarakat dalam pendidikan tidak membuat kewajiban pemerintah gugur," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan pihaknya akan mulai melakukan pendataan terhadap beberapa pesantren yang dinilai belum memenuhi standard. Selanjutnya, pemerintah akan memanggil para pimpinan atau pengasuh pesantren tersebut.
Proses pencatatan dilakukan imbas kasus ambruknya gedung pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, sepekan sebelumnya.
"Pendataan dulu, baru sudah ada pendataan, baru kita panggil pimpinan-pimpinan pondok. Saya mulai nanti sekarang sudah mau jalan, Kalimantan, ke Sulawesi, saya sendiri yang turun tangan insyaallah," kata Nasaruddin.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengungkap bahwa Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny yang baru mengalami insiden gedung ambruk dan menewaskan 67 orang telah berusia 125 tahun.
Menurut Cak Imin, ponpes yang berusia tua umumnya memang tak memiliki perencanaan yang baik. Kondisi itu disebabkan karena beberapa hal, salah satunya keterbatasan anggaran.
Dengan keterbatasan anggaran, Cak Imin menyebut skema pembangunan yang dilakukan pesantren karena itu banyak dilakukan dengan cara tambal sulam. Cak Imin juga mengaku akan mengevaluasi nguli atau gotong royong kerja-kerja fisik yang selama ini telah menjadi tradisi di pesantren.