Pesangon & Uang Pensiun Jadi Objek Pajak di UU HPP Digugat ke MK

CNN Indonesia
Senin, 13 Okt 2025 12:26 WIB
Sebanyak sembilan orang pemohon yang berlatar belakang karyawan swasta mengajukan uji materi Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17 Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) terhadap Undang-undang Dasar (UUD) 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ilustrasi (ANTARA FOTO/FAUZAN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sebanyak sembilan orang pemohon yang berlatar belakang karyawan swasta mengajukan uji materi Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17 Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) terhadap Undang-undang Dasar (UUD) 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon atas nama Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, Cahya Kurniawan, dan Aldha Reza Rizkiansyah.

Pasal 4 ayat 1 menempatkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, termasuk pesangon dan pensiun. Sedangkan Pasal 17 menerapkan tarif progresif atas pesangon dan pensiun.

Permohonan uji materi tersebut didaftarkan pada Jumat, 10 Oktober 2025 dan telah teregistrasi dengan nomor perkara: 186/PUU-XXIII/2025.

"Pemohon adalah para karyawan-karyawan bank swasta yang tergabung dalam Forum Pekerja Bank Swasta sedang kerja atau sudah memasuki masa pensiun sehingga secara langsung dan nyata mengalami kerugian konstitusional," demikian termuat dalam permohonan tersebut dilansir dari laman MK, Senin (13/10).

Menurut pemohon, ketentuan tersebut telah menimbulkan implikasi bahwa pesangon dan pensiun, yang pada hakikatnya merupakan hak normatif pekerja setelah puluhan tahun bekerja, diperlakukan setara dengan tambahan penghasilan baru yang lahir dari aktivitas ekonomi.

Secara filosofis dan sosiologis, terang pemohon, pesangon dan pensiun sama sekali tidak dapat disamakan dengan keuntungan usaha atau laba modal, melainkan merupakan bentuk tabungan terakhir hasil jerih payah pekerja sepanjang hidupnya.

Sementara pemerintah dan DPR menganggap pajak pesangon yang diterima sekaligus sebagai tambahan kemampuan ekonomis, padahal itu adalah tabungan yang dipotong dari gaji tiap bulan dan penghargaan dari perusahaan untuk karyawan yang memasuki masa pensiun.

"Negara masih tega mengambil bagian dari jatah atas rakyat untuk biaya hidup sampai kepada kematian, padahal karyawan atau pensiunan telah dipotong langsung pajaknya puluhan tahun dan kontribusi balik secara langsung kepada pembayar pajak tidak ada," ucap pemohon.

Pemohon menilai Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17 UU HPP bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Ketentuan di dua Pasal dimaksud disebut juga berlawanan dengan Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 yang secara eksplisit menugaskan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu.

"Ketika negara membebani pajak atas pesangon dan pensiun, maka pekerja yang justru berada dalam posisi lemah di masa tua diperlakukan seolah-olah masih dalam posisi kuat dan produktif," kata pemohon.

"Hal demikian mencederai prinsip kepastian hukum yang adil karena menempatkan kelompok rentan dalam situasi yang sama dengan kelompok produktif, padahal kondisi sosial-ekonomi mereka jelas berbeda secara mendasar," tandasnya.

(fra/ryn/fra)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK