Auriga: Habitat Orang Utan Hancur Akibat Deforestasi Hutan Kalimantan
Organisasi lingkungan hidup yang berbasis di Indonesia dan Inggris, yakni Auriga Nusantara dan Earthsight, merilis laporan investigasi berjudul 'Risky Business' atau Tercemar Deforestasi yang menggambarkan ancaman habitat orang utan Kalimantan (Pongo Pygmacus) akibat pembabatan hutan.
Kayu-kayu dari hutan yang dibabat itu disebut untuk kepentingan Pasar Eropa yang masih menampung produk kayu keras (hardwood). Dalam laporan tersebut dicantumkan gambar-gambar lapangan yang memperlihatkan salah satu hutan habitat dan tempat sarang orang utan Kalimantan dihancurkan oleh buldoser.
Auriga Nusantara dan Earthsight melakukan investigasi lapangan menganalisis sekitar 10.000 naskah dalam Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI)-laporan industri kayu ke sistem data yang dikelola Kementerian Kehutanan-dan mengidentifikasi adanya 65 industri yang menerima (dan mengolah) kayu dari pembatatan hutan alam, sebagian besar di Kalimantan.
Auriga Nusantara dan Earthsight meyakini investigasi ini merupakan kali pertama RPBBI dianalisis secara komprehensif perihal keterhubungannya dengan deforestasi pada hutan-hutan tersisa di Kalimantan. Data-data tersebut selanjutnya digabungkan dengan data peredaran kayu Indonesia-Eropa, sehingga terungkap bahwa lima teratas pengguna kayu deforestasi pada 2024 seluruhnya menjual produk kayu ke Eropa.
"Patut ditambahkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir bahwa sejumlah besar hutan Kalimantan telah dikonversi menjadi kebun monokultur yang turut menghancurkan habitat orang utan," demikian laporan Auriga Nusantara dan Earthsight sebagaimana diperoleh dari Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung, Selasa (21/10).
Uni Eropa berencana melarang kayu hasil deforestasi masuk pasar Eropa melalui penerapan EU Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi itu telah mengalami penundaan sebelumnya, dan kini sedang menghadapi ancaman penundaan dan pelemahan. Kegagalan menerapkan regulasi yang telah disepakati otoritas terkait di Eropa ini berpotensi mengakibatkan perbatasan Uni Eropa leluasa dimasuki kayu-kayu hasil dari deforestasi.
Timer menuturkan Auriga Nusantara sudah mengirimkan tim penelisik lapangan ke empat konsesi pembabat hutan alam. Tim tersebut menyaksikan ribuah hektare hutan alam di Kalimantan Tengah yang dibabat dalam beberapa tahun terakhir. Hutan alam ini awalnya merupakan salah satu pusat sarang orang utan kalimantan tersisa.
Penduduk setempat turut menyampaikan sumber pangan dan pendapatan yang hilang akibat pembabatan hutan tersebut. Hal itu memicu konfrontasi warga dengan perusahaan dan polisi.
Ketua Tim Earthsight untuk Asia Tenggara Aron White mengatakan dari investigasi tersebut terlihat jelas risiko dana Eropa turut menghancurkan sarang terakhir orang utan di bumi.
"Dalam investigasi atau laporan ini, kami mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang membeli ribuan meter kubik kayu deforestasi dari Indonesia sembari secara tidak tepat mengklaim semua pasokan mereka berkelanjutan," kata Aron.
"Kasus-kasus ini menunjukkan kenapa EUDR mesti diberlakukan segera tanpa penundaan untuk memastikan perusahaan membersihkan rantai pasoknya dan berhenti bersembunyi di balik label 'hijau' yang menyesatkan," sambung dia.
Aron berpendapat perusahaan-perusahaan Eropa sebaiknya memutus hubungan dengan pemasok mana pun yang terhubung dengan deforestasi dan beralih ke berbagai alternatif yang tersedia.
Sementara itu, Juru Kampanye Auriga Nusantara Hilman Afif menyatakan kehancuran hutan Kalimantan bukan hanya tragedi bagi Indonesia, melainkan juga dunia internasional. Berdasarkan investigasi yang dilakukan Auriga Nusantara dan Earthsight, Hilman mengungkapkan deforestasi tersebut sudah mencapai lahan gambut-ekosistem penyimpanan karbon raksasa yang seharusnya menjadi benteng terakhir menghadapi krisis iklim.
"Orang utan terusir, masyarakat adat dan lokal kehilangan ruang hidupnya, hingga iklim yang semakin tak menentu mencerminkan rapuhnya tata kelola kehutanan Indonesia. Setiap hektare hutan yang hilang mendekatkan kita pada kehancuran masa depan, menjauhkan generasi mendatang dari bumi dan hunian yang aman. Saatnya Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dengan memastikan setiap komoditas, termasuk kayu, benar-benar bebas deforestasi," ungkap Hilman.
Deforestasi di Kalimantan terus meningkat pada tahun-tahun terakhir. Pada 2024, deforestasi di Pulau Kalimantan mencapai 129.000 hektare, setara dengan kota Roma atau Los Angeles.
Pemanenan kayu mendanai konversi hutan alam, yang kaya sekaligus rumah bagi beragam spesies terancam punah, menjadi kebun monokultur skala luas. Ekspansi logging dan perkebunan yang tak terkendali turut menjadi penghancur hutan alam tropis pada berbagai dekade terakhir, menyisakan hanya sepertiga atau 36 persen hutan utuh (intact forest) pada tahun 2019 dan menyumbang emisi sangat besar.
"Tahun lalu, emisi deforestasi Indonesia, sebagian besar di Kalimantan, lebih besar daripada emisi negara Belanda," ungkap laporan tersebut.
(ryn/gil)