Seniman sekaligus budayawan, Butet Kertaredjasa menyampaikan keresahannya perihal maraknya kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Butet menyampaikan hal tersebut dalam acara Forum Sambung Rasa Kebangsaan di Gedung Sasono Hinggil Dwi Abad, Keraton Yogyakarta, Minggu (26/10).
Forum ini turut dihadiri eks Menko Polkam Mahfud MD, mantan Wakapolri Ahmad Dofiri, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Basuki Hadimuljono, hingga Rosiana Silalahi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Butet menyebut kasus siswa sekolah mengalami keracunan makanan secara massal tidak pernah terjadi sebelum program MBG.
"Hari ini, kita panen orang keracunan karena MBG dan itu seakan-akan menjadi hal yang biasa," kata Butet.
Butet berharap kejadian keracunan MBG tak lantas dinormalisasi. Menurutnya, sudah sepantasnya program ambisius Presiden Prabowo Subianto itu dikritik.
"Satu siswa keracunan itu jumlahnya terlalu banyak. Kita tidak bisa menganggap ribuan orang keracunan sebagai suatu hal yang biasa," ujarnya.
Selain MBG, Butet juga menyatakan keprihatinnya soal hilangnya etika dan tata krama di negara ini. Dia mencontohkan seorang mantan pejabat negara yang terang-terangan menyatakan dirinya menjilat untuk bisa bersaing.
Dia juga mempertanyakan Komite Reformasi Polri yang menurutnya hanya bentuk umbar janji penguasa.
"Pemimpin boleh berjanji, tapi sekaligus boleh mengingkari. Sedih, iki model apa. Saya membayangkan pemimpin itu adalah guru yang wajib digugu (dipatuhi) dan ditiru, diteladani. Lah kok sekarang saya seperti kesulitan mendapatkan pemimpin yang pantas saya teladani untuk menjadi Indonesia damai," ucapnya.
Sambil mengutip pesan dari KH. Ahmad Dahlan, Butet mengajak untuk mengkritisi hal-hal yang ia utarakan ini.
"Biasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa. Hari ini, apa yang kita lihat yang seakan-akan menjadi biasa itu harus kita kritisi. Itu tidak biasa," ujar Butet.
"Etika hari ini memang sedang ambyar," tutupnya.
Di wilayah DIY sendiri, kasus dugaan keracunan akibat MBG telah terjadi beberapa kali. Salah satu yang paling besar menimpa sejumlah siswa SMAN 1 Yogyakarta dan SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta pada pertengahan Oktober 2025. Total korban mencapai 491 orang.
Kasus terbaru pada 24 Oktober kemarin menimpa sekitar 215 siswa dari tiga sekolah di Kabupaten Sleman. Murid-murid yang menjadi korban berasal dari MAN 7 Sleman, SMPN 2 Mlati, SD Jombor Lor.
Tujuh orang guru dari SMPN 2 Mlati juga dilaporkan mengalami gejala keracunan usai mengonsumsi MBG yang tidak dimakan oleh para siswa.
Sementara itu Sultan juga pernah berpendapat Badan Gizi Nasional (BGN) yang menurunkan target produksi menjadi porsi 2 ribu MBG per hari untuk satu unit Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) masih perlu diperkecil lagi.
Pengurangan porsi oleh BGN sebagaimana diketahui sebagai salah satu langkah evaluasi merespons maraknya kasus keracunan MBG.
Sultan sejatinya tak mempermasalahkan ketika kapasitas produksi satu unit SPPG mencapai 3 ribu porsi, asalkan pengerjaannya bisa dibagi ke beberapa sub dapur MBG.
Semisal, jatah dua ribu porsi MBG dibagi ke 10 unit sub unit SPPG, sehingga tidak terlalu membebenani atau memakan waktu dalam pengolahan dan bisa dikonsumsi tanpa melebihi batas daya tahan makanan.
Ini juga demi mengantisipasi penurunan kualitas pangan, karena bahan-bahan makanan disimpan tak terlalu lama dan diolah dalam keadaan masih segar.
"Lah kalau masaknya sampai dua ribu hanya satu kelompok, yang namanya (potensi) keracunan akan selalu terjadi," ujar Sultan di Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta, DIY, Kamis (23/10).
Pesan ini Sultan sampaikan melihat kemungkinan para penjamah makanan di setiap dapur SPPG belum tentu berlatar belakang pekerja jasa boga profesional, melainkan hanya tukang masak rumahan atau keluarga.
Lagipula, menurut Sultan, persoalan keracunan pangan yang belakangan kerap terjadi disinyalir hanya menyangkut pola masak. Tidak perlu menurunkan ahli, cuma perlu memahami soal daya tahan makanan.
"Masalahnya saya bisa masak, sering masak di rumah. Nek saiki sing pejabat e ora tau masak, ora tau ning dapur, ora ngerti dapur, suruh ngurusi yo ora ngerti (kalau sekarang pejabatnya nggak pernah masak, nggak pernah ke dapur, diminta mengurus ya nggak paham)," pungkas Sultan.
(fra/kum/fra)