Jejak Pakubuwono XIII, Raja yang Menyatukan Dua Kubu Keraton Solo

CNN Indonesia
Senin, 03 Nov 2025 07:40 WIB
Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Paku Buwono XIII meninggal dunia pada Minggu (2/11) pagi di usia 77 tahun. (Dok. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat)
Jakarta, CNN Indonesia --

Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII meninggal dunia pada Minggu (2/11) pagi di usia 77 tahun.

Sang raja meninggal dunia setelah cukup lama menjalani perawatan di rumah sakit sejak 20 September lalu.

Lahir di Kota Solo pada 28 Juni 1948, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi tumbuh di lingkungan yang sarat dengan tata nilai ningrat dan budaya Jawa. Sebagai putra sulung Paku Buwono XII, ia sejak kecil sudah akrab dengan dunia keraton, tempat di mana adat, spiritualitas, dan tradisi berpadu dalam keseharian.

Namun, takhta yang seolah telah digariskan untuknya justru menjadi sumber ujian besar. Wafatnya Pakubuwono XII pada 11 Juni 2004 memunculkan badai suksesi di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dengan enam istri dan 35 anak, sang raja meninggalkan garis keturunan yang luas dan kompleks. Dua nama mencuat sebagai calon penerus yakni KGPH Hangabehi dan adiknya, KGPH Tedjowulan.

Forum keluarga besar Mataram, melalui rapat Forum Komunikasi Putra Putri (FKPP) PB XII pada 10 Juli 2004, memutuskan Hangabehi sebagai penerus sah takhta. Rencana penobatan ditetapkan pada 10 September 2004. Namun, tak lama kemudian, kubu lain menobatkan Tedjowulan sebagai raja pada 31 Agustus di Sasana Pumama, Solo.

Perselisihan memanas hingga pecah bentrok di kompleks keraton pada awal September 2004. Dinding istana yang selama berabad-abad menjadi simbol ketenangan, untuk pertama kalinya menyaksikan perkelahian antar darah biru. Beberapa abdi dalem terluka, dan dualisme kepemimpinan pun resmi membelah Kasunanan.

Meski begitu, Hangabehi tetap melanjutkan penobatan pada 10 September 2004 di Bangsal Manguntur Tangkil, Sitihinggil Lor. Upacara berlangsung khidmat dengan kehadiran bangsawan, cucu-cucu PB XII, serta utusan kerajaan dari berbagai daerah. Dukungan tiga sesepuh keraton mempertegas keabsahan Hangabehi sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.

Masa pemerintahannya bukan tanpa ujian. Ia mewarisi keraton yang terbelah dan harus berjuang memulihkan martabat istana di tengah sorotan publik. Namun, di balik tekanan itu, PB XIII tetap setia pada misi pelestarian budaya. Upacara adat, seni tari klasik, dan pembinaan abdi dalem terus berjalan, menjadi bukti komitmennya menjaga napas tradisi Mataram.

Salah satu momen penting terjadi pada Juli 2009, ketika digelar upacara jumenengan untuk menandai masa kepemimpinannya. Tari Bedhaya Ketawang yang merupakan tarian sakral yang hanya ditampilkan bagi raja yang berdaulat, kembali dipentaskan. Menariknya, Tedjowulan yang masih berselisih kala itu turut hadir, sebuah isyarat halus menuju rekonsiliasi.

Upaya perdamaian akhirnya benar-benar terwujud pada tahun 2012. Melalui mediasi antara DPR RI, Pemerintah Kota Solo di bawah Joko Widodo, serta keluarga besar keraton, kedua pihak mencapai kesepakatan. Tedjowulan mengakui Hangabehi sebagai Pakubuwono XIII yang sah dan menerima gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung, sekaligus dipercaya menjabat Mahapatih. Titik temu itu menandai berakhirnya perpecahan dan awal pemulihan wibawa Kasunanan Solo Hadiningrat.

Di bawah kepemimpinan PB XIII, keraton kembali tegak sebagai pusat kebudayaan Jawa. Ia dikenal sederhana, penuh welas asih, dan berusaha merangkul semua pihak. Sosoknya memadukan keteguhan seorang raja dengan kelembutan seorang penjaga warisan leluhur.

Wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada 2 November 2025 menjadi kehilangan besar bagi masyarakat Solo dan trah Mataram. Dua dekade pemerintahannya dikenang sebagai masa kebangkitan kembali keraton dari perpecahan menuju persatuan.

Lebih dari sekadar seorang raja, PB XIII meninggalkan teladan tentang arti sesungguhnya dari 'ngayomi', melindungi dan mempersatukan. Warisan yang ia tinggalkan bukan hanya istana yang berdiri megah, melainkan semangat menjaga harmoni dan martabat budaya Jawa di tengah perubahan zaman.

Baca selengkapnya di sini.

(isn/isn)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK