Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Darmadi Durianto mempertanyakan gugatan UU MD3 oleh mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar masyarakat bisa memecat atau melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap anggota DPR.
Darmadi mengaku tak mempermasalahkan gugatan tersebut sebab merupakan hak warga negara. Namun, dia mempertanyakan mekanisme pemecatan. Dia terlebih mempertanyakan rakyat yang bisa memiliki hak memecat.
"Nah kalau kemudian rakyat kemudian bisa langsung ya rakyat yang mana, mekanismenya seperti apa, itu yang nanti harus dipertimbangkan," kata dia di kompleks parlemen, Kamis (20/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, kata Darmadi, hingga saat ini tak ada mekanisme undang-undang yang mengatur PAW anggota DPR selain melalui partai politik. Menurut dia, MK harus serius mencermati dasar gugatan tersebut.
"Kecuali aturan itu bisa diubah dan mekanismenya seperti apa ya harus dijelaskan dan dianalisis oleh MK juga begitu kira-kira," kata dia.
Pergantian anggota DPR atau dikenal dengan istilah PAW selama ini diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. PAW bisa dilakukan terhadap anggota DPR yang meninggal dunia, mengundurkan diri, tak memenuhi syarat sebagai anggota DPR, dan terjerat kasus hukum lewat keputusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.
Anggota DPR yang di-PAW digantikan oleh calon lain dengan perolehan suara terbanyak kedua pada pemilu terakhir dari daerah pemilihan yang sama.
Menurut Darmadi, kewenangan rakyat untuk memecat anggota DPR dalam gugatan ke MK, tak bisa dianggap sederhana. Sebab, rakyat umumnya tak memiliki kehendak tunggal.
"Jadi artinya ada yang mendukung ada yang menolak. Ada yang nanti mendukung anggota DPR yang sudah mereka pilih ada juga yang menolak," katanya.
Menurut dia, sulit untuk mengambil keputusan yang bisa merepresentasikan kehendak rakyat jika itu dijadikan syarat pemecatan. Sehingga, cara paling sederhana adalah dengan melalui evaluasi pada pemilu di periode berikutnya.
"Nah ini kan tentu menyulitkan nanti dalam pengambilan keputusan. Gimana ngambil keputusannya rakyat. Jadinya nanti agak confused juga kita gitu," kata dia.
Mahasiswa menggugat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK) dan meminta agar rakyat, dalam hal ini konstituen, bisa memberhentikan anggota DPR RI.
Ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Sebab, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Kelima mahasiswa itu masing-masing Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna.