Fakta-fakta Seputar Banjir Bandang Kayu Gelondongan di Sumatra
Asal muasal tumpukan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang di wilayah Pulau Sumatra hingga kini masih menjadi misteri.
Di Sumatra Barat, tumpukan kayu gelondongan itu memenuhi area muara dan bibir Pantai Parkit, Kota Padang. Selain tumpukan kayu, berbagai sampah juga terlihat menumpuk di lokasi.
Sementara di Sumatra Utara, kayu gelondongan itu terbawa arus banjir bandang di wilayah Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah hingga Sibolga.
Sedangkan di Aceh, banjir bandang tak hanya menyebabkan tumpukan kayu. Seekor Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) bahkan ditemukan mati dalam kondisi tersungkur dengan kepala tertimbun material yang terbawa banjir di Desa (Gampong) Meunasah Lhok, Kecamatan Meureudu.
CNNIndonesia.com merangkum sejumlah fakta terkait tumpukan kayu gelondongan yang terbawa banjir di Sumatra, sebagai berikut:
Dugaan asal kayu
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) membeberkan soal dugaan asal muasal ribuan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang Sumatra.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut Dwi Januanto Nugroho mengatakan kayu-kayu tersebut bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk pembalakan liar atau illegal logging.
Beberapa di antaranya diduga dari pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal, hingga penyalahgunaan Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), dan illegal logging.
Dwi menyebut pihaknya masih menelusuri lebih lanjut soal asal muasal kayu gelondongan itu. Kata dia, pihaknya bakal menelusuri secara profesional setiap indikasi pelanggaran dan memproses bukti kejahatan kehutanan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
"Terkait pemberitaan yang berkembang, saya perlu menegaskan bahwa penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir, melainkan untuk memperjelas sumber-sumber kayu yang sedang kami telusuri dan memastikan setiap unsur illegal logging tetap diproses sesuai ketentuan," kata Dwi dalam pernyataan dikonfirmasi dari Jakarta, Minggu (30/11).
DPR panggil Menhut
Komisi IV DPR yang membidangi urusan kehutanan dan kelautan bakal memanggil Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni untuk membahas fenomena ribuan kayu gelondongan tersebut. Rencananya, rapat akan digelar pada Kamis (4/12).
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Alex Indra Lukman itu memahami logika publik terkait keberadaan ribuan kayu yang telah dipotong tersebut. Dia pun mengamini ada sesuatu di hulu dalam tragedi banjir besar di Sumatra dan Aceh.
"Tetapi dari material yang terbawa, logika kita juga mengatakan ini bukan hanya kemudian air yang melimpah, tetapi ada sesuatu di hulu ya toh, di lereng bukit yang terjadi," katanya, Senin (1/12).
Menurut dia, kasus tersebut harus menjadi evaluasi, sebab bukan tidak mungkin bencana serupa akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
"Oleh karena itu memang butuh kebijakan tentang kehutanan kita yang baru, yang up to date, untuk supaya bencana seperti ini tidak terulang lagi," ucap Alex.
Dosa ekologis deforestasi
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM) Hatma Suryatmojo menduga ada dosa ekologis atau deforestasi masif di balik banjir bandang hingga longsor yang melanda Pulau Sumatra.
Hatma menilai curah hujan ekstrem yang dipicu dinamika atmosfer luar biasa, hanyalah pemicu awal. Kata dia, rusaknya ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pangkal untuk meredam curah hujan tinggi
Kata Hatma, ekosistem Batang Toru di Tapanuli yang jadi benteng terakhir hutan Sumut kini terdesak oleh aktivitas manusia. Ini akibat maraknya konsesi dan aktivitas perusahaan, mulai dari penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas.
"Hutan-hutan lindung di ekosistem Batang Toru yang semestinya menjadi area tangkapan air banyak dikonversi menjadi perkebunan, atau dibabat pembalak liar. Akibatnya, saat hujan lebat, air yang melimpah tak bisa lagi tertahan secara alami di hulu dan langsung menghantam permukiman di hilir," ungkap Hatma, Senin.
Laju deforestasi yang tinggi tercermin di Sumbar. Hatma mengatakan Provinsi ini pada 2020 tercatat memiliki proporsi hutan sekitar 54 persen dari luas wilayah ±2,3 juta hektare.
Kemudian, pada tahun 2024 saja deforestasi di Sumbar bahkan mencapai 32 ribu hektare. Sisa hutan di sana pun banyak berada area lereng curam Bukit Barisan, sehingga ketika berkurang maka risiko tanah longsor dan banjir bandang naik.
"Penataan dan pengendalian kawasan berdasarkan fungsi yang lemah turut mengakibatkan maraknya perambahan hutan dan alih fungsi lahan hutan menjadi kebun sawit, serta illegal logging di kawasan hulu sehingga menjadi penyebab berbagai bencana hidrometeorologi kerap muncul di wilayah tersebut," tutur Hatma.
(dis/isn)