Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terkait Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diajukan oleh 29 orang musisi seperti Ariel Noah, Raisa, dan lainnya.
"Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor: 28/PUU-XXIII/2025, Rabu (17/12).
MK menyatakan frasa "setiap orang" dalam norma Pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MK juga menyatakan frasa 'imbalan yang wajar' dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan'.
Selain itu, MK menyatakan frasa huruf f dalam norma Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip Restorative Justice (RJ)'.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan pencipta atau pemegang hak cipta tidak dapat melarang orang lain yang telah meminta izin untuk menggunakan ciptaan dimaksud tanpa alasan yang sah.
Saldi menuturkan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Cipta merupakan norma yang bersifat umum (lex generalis) dan universal yang bertujuan untuk melindungi pencipta atau pemegang hak cipta dengan melarang penggandaan dan/atau penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Perlindungan tersebut tidak hanya terbatas pada jenis ciptaan dalam bentuk lagu, melainkan berlaku terhadap setiap bentuk ciptaan.
Saldi menjelaskan prinsip dan materi muatan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Cipta selaras dengan prinsip recognition and protection of legal rights sebagaimana maksud norma Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin pengakuan dan perlindungan hukum secara adil- termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak cipta sebagai kekayaan intelektual.
Dengan demikian, norma Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU 28/2014 merupakan konsekuensi logis dari prinsip penerapan hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta, di mana hak tersebut bersifat eksklusif.
"Dan apabila ada pihak lain yang ingin melakukan kegiatan ekonomi sebagaimana diuraikan pada Pasal 9 ayat (1) UU 28/2014 maka pada prinsipnya, harus mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta," imbuhnya.
Berkenaan dengan norma Pasal 9 ayat (3) UU 28/2014, terang Saldi, Para Pemohon memohon agar frasa "Penggunaan Secara Komersial Ciptaan" dalam norma Pasal a quo dimaknai "Penggunaan Secara Komersial Ciptaan, kecuali dilakukan dalam suatu pertunjukan".
Saldi bilang pemaknaan yang dikehendaki oleh Para Pemohon tersebut pada dasarnya telah diakomodasi oleh UU Hak Cipta dalam Pasal 23 ayat (5) yang menyatakan, "Setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif".
Apabila dicermati secara saksama, lanjut Saldi, untuk memahami maksud dari Pasal 23 ayat (5) tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Cipta.
Sebab, Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta merupakan norma yang mengatur mengenai pengecualian terhadap kewajiban meminta izin pencipta bagi orang yang akan melakukan penggunaan ciptaan secara komersial.
Namun demikian, norma pengecualian itu tidak serta merta menghilangkan kewajiban meminta izin sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU 28/2014, hanya tata caranya yang diatur secara berbeda, yaitu melalui LMK.
"Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan dan fungsi LMK sebagai lembaga 'yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait' sehingga substansi Pasal 23 ayat (5) UU 28/2014 pada pokoknya tidak menghilangkan kewajiban izin sebagaimana prinsip yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU 28/2014 yang hanya mengalihkan kewajiban izin tersebut kepada LMK dalam hal pencipta atau pemegang hak cipta memberikan kuasa kepada LMK dimaksud," tutur dia.
Artinya, jika pengguna hak cipta akan menggunakan hasil ciptaan secara komersial meminta izin secara langsung kepada pencipta atau pemegang hak cipta, hal tersebut dapat dibenarkan.
"Walakin, Mahkamah perlu mengingatkan pencipta atau pemegang hak cipta tidak dapat melarang orang lain yang telah meminta izin untuk menggunakan ciptaan dimaksud tanpa alasan yang sah," tegas Saldi.
Oleh karena itu, dalam Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta terdapat ketentuan yang melarang penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta.
Dalam kaitan ini, Pasal 1 angka 24 UU Hak Cipta menentukan maksud "penggunaan secara komersial" adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.
Artinya, apabila akan memanfaatkan ciptaan atau melaksanakan hak ekonomi atas suatu ciptaan, maka diwajibkan mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana maksud Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta.
Apabila pemanfaatan dilakukan tanpa izin, maka perbuatan tersebut termasuk melanggar larangan sebagaimana maksud Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta.
"Namun demikian, sebagaimana Mahkamah telah pertimbangkan di atas, pencipta atau pemegang hak cipta tidak dapat melarang orang lain yang telah meminta izin untuk menggunakan ciptaan dimaksud tanpa alasan yang sah," tutur Saldi.
"Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan pembentuk Undang-undang untuk merumuskan lebih lanjut berkaitan dengan alasan yang sah dimaksud dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara hak yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta dengan hak publik (masyarakat) untuk menikmati hasil ciptaan," imbuhnya.