Eks Pimpinan Sentil KPK Setop Kasus Korupsi Rp2,7 T Aswad Sulaiman

CNN Indonesia
Minggu, 28 Des 2025 20:50 WIB
Eks pimpinan KPK menilai kasus korupsi bekas Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman harus dilanjutkan karena rugikan negara Rp2,7 triliun.
Kasus mantan Bupati Konawe Utara disetop KPK. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Laode Muhammad Syarif, memandang kasus dugaan korupsi dan suap izin pertambangan nikel Rp2,7 triliun yang melibatkan mantan Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Aswad Sulaiman, tidak layak dihentikan oleh lembaga antirasuah.

"Kasus itu tidak layak untuk diterbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) karena kasus sumber daya alam yang sangat penting, dan kerugian negaranya besar," ujar Laode mengutip Antara, Minggu (28/12).

Selain itu, dia mengatakan KPK di masa kepemimpinannya sudah menemukan cukup bukti untuk dugaan suapnya, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sedang menghitung jumlah kerugian keuangan negaranya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Makanya sangat aneh kalau KPK sekarang menghentikan penyidikan kasus ini," katanya.

Sementara itu, dia mengatakan bila BPK RI pada akhirnya enggan menghitung kerugian negara akibat kasus tersebut, maka KPK seharusnya bisa melanjutkan dugaan suap yang dilakukan Aswad Sulaiman.

"Kalau BPK enggan melakukan perhitungan kerugian keuangan atau perekonomian negaranya, maka KPK bisa melanjutkan kasus suapnya saja," ujarnya.

KPK buka suara

KPK sendiri mengungkapkan dua alasan sehingga memutuskan menyetop penyidikan Aswad Sulaiman. Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, alasan pertama karena KPK mengalami kendala dalam menghitung kerugian negara akibat kasus tersebut.

"Penerbitan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan, red.) oleh KPK sudah tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan terkait Pasal 2 dan 3, yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," ujar Budi mengutip Antara.

Pasal 2 dan 3 yang dimaksud Budi adalah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Walaupun demikian, dia belum menjelaskan lebih lanjut mengenai jenis kendala yang dihadapi KPK dalam menghitung kerugian negara kasus tersebut, yakni metode, sumber daya manusia atau hal lainnya.

Alasan kedua, kata dia, KPK tidak dapat menyangkakan Aswad Sulaiman dengan pasal dugaan penerimaan suap, yakni Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor, dikarenakan perkara tersebut sudah kedaluwarsa.

Ia menjelaskan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, dugaan penerimaan suap oleh Aswad Sulaiman yang terjadi selama 2007-2009 sudah kedaluwarsa bila dilakukan penyidikan pada 2024.

Diketahui, berdasarkan Pasal 78 KUHP lama, kewenangan menuntut pidana kasus tersebut kedaluwarsa setelah 12 tahun sejak hari perbuatan dilakukan atau pada tahun 2021. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Budi.

Oleh sebab itu, dia mengatakan KPK memutuskan menerbitkan SP3 dengan mempertimbangkan dua alasan tersebut serta untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait sesuai dengan norma-norma hukum.

"Hal ini juga sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," katanya.

UU Nomor 19 Tahun 2019 yang dimaksud Budi mengatur tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebelumnya, pada 4 Oktober 2017, KPK menetapkan Aswad Sulaiman selaku Penjabat Bupati Konawe Utara periode 2007-2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011-2016 sebagai tersangka dugaan korupsi terkait pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi dari Pemerintah Kabupaten Konawe Utara tahun 2007-2014.

KPK menduga Aswad Sulaiman mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat proses perizinan yang melawan hukum.

Selain itu, KPK menduga Aswad Sulaiman selama 2007-2009 menerima dugaan suap hingga Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan.

Pada 18 November 2021, KPK sempat memeriksa Andi Amran Sulaiman (sekarang Menteri Pertanian) selaku Direktur PT Tiran Indonesia sebagai saksi kasus tersebut. Amran diperiksa KPK mengenai kepemilikan tambang nikel di Konawe Utara.

Pada 14 September 2023, KPK berencana menahan Aswad Sulaiman. Namun, hal tersebut batal dilakukan karena yang bersangkutan dilarikan ke rumah sakit. Kemudian pada 26 Desember 2025, KPK mengumumkan menghentikan penyidikan kasus tersebut karena tidak ditemukan kecukupan bukti.

(tim/dal)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER