Muda, berprestasi, dan tetap rendah hati. Segudang tropi kemenangan yang ada dalam genggaman justru memacunya untuk terus berlatih. Sosok yang layak dijadikan kiblat pengembangan diri.
"Sudah menunggu lama? Maaf saya terlambat," sapa seorang pria yang mengenakan kaus hitam dipadu topi visor putih pada CNN Indonesia. Tangan kanannya menggengam erat sebuah piala perak.
Bisa jadi, tak banyak yang tahu bahwa pria ini adalah seorang bintang golf Indonesia. Warna kulitnya menunjukkan kesan ia “akrab” dengan sinar matahari. Perawakannya tegap. Postur tubuh khas seorang atlet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namanya George Gandranata. Di usianya yang ke-28 tahun, ia sudah menjadi pegolf nomor satu di Indonesia. Sungguh, ini bukan pencapaian biasa.
Ditolak Berkali-Kali
Mencapai berbagai prestasi di usia muda tidak berarti jalan yang dilaluinya sangat mulus. “Menjadi pegolf profesional itu tidak mudah," ujar George, begitu sapaan akrabnya.
"Lebih banyak kalah dibanding menangnya".
Pria yang mengidolakan sang ayah dan Tiger Woods ini lantas mulai bercerita bagaimana dirinya mulai bermain golf.
Pria kelahiran 22 Maret 1986 ini memulai perjalanannya pada usia 13 tahun. Awal yang diakui George terbilang terlambat.
"Awalnya, saya lebih minat dengan tenis, tetapi dikritik ayah karena permainan saya tak kunjung membaik selama setahun," ujar George.
Meski mengaku memulai golf lantaran sekadar ingin mencoba, ternyata pukulan pertamanya adalah yang terbaik sebagai seorang pemula. "Pukulan saya kena, jauh, dan lurus. Itu sudah sangat bagus" ucapnya semangat.
Saat beralih dari tenis, George yang tak sungkan menebar senyum ini sempat merasakan ditolak berbagai klub golf pemula. Sebuah klub golf di kawasan Pangkalan Jati, Jakarta Selatan, akhirnya bersedia menerimanya sebagai murid.
Namun berbagai penolakan itu memotivasinya untuk terus berusaha. Hampir setiap hari ia berlatih. Ia pun berkeliling mencari lapangan golf yang menyediakan jadwal main secara gratis karena tidak memiliki cukup uang.
Pada usia 15 tahun, George pindah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan sekolah. Hidup di surganya pegolf semakin membuat minatnya semakin besar pada olah raga ini.
Di negeri Paman Sam inilah George mulai mengikuti berbagai kompetisi amatir, tepatnya di California. "Di Amerika itu sekolah dan turnamen golf lokal banyak banget," katanya.
Pendidikan Tetap yang Utama
Meski gandrung pada olahraga yang sangat membutuhkan konsentrasi ini, pria bernama lengkap George Aditya Gandranata tersebut tidak lantas melupakan pendidikannya.
Pentingnya pendidikan pun telah ia buktikan sendiri.
Selepas SMA, George mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hingga tingkat Doktor di Universitas California, Berkeley. Sayangnya, pria lajang ini hanya mengambil hingga tingkat master.
"Pendidikan itu hal yang sangat penting," ucap George. "Banyak hal dari sekolah yang dapat membantu kita dalam kehidupan, selain sekadar mendapat gelar," ujarnya menambahkan.
Di sela kuliah di kampus yang banyak menghasilkan ekonom dunia tersebut, George masih menyempatkan diri berlatih dan ikut pertandingan golf. Setiap usai kuliah, ia langsung menuju lapangan golf dan bermain hingga malam.
"Bagi seorang pegolf, apalagi profesional, berlatih dan terus berlatih adalah kunci utama," katanya dengan mimik serius. Tak heran jika hingga kini, ia masih terus berlatih meski tak ada pertandingan.
Golf dan George
Perbincangan dengan pemilik tinggi tubuh 175 cm ini berjalan penuh keakraban. Keramahan khas masyarakat Indonesia. Tinggal di negara liberal selama 11 tahun tak bisa mengubah kepribadiannya.
Berada jauh dari orang tua justru membentuk George menjadi remaja yang terbiasa bekerja keras. Pemilik hobi membaca ini juga tetap memegang teguh agamanya dan prinsip dalam hidup.
Menurut pegolf peringkat 940 dunia ini, olahraga yang digeluti juga ikut melatihnya mengontrol dirinya sendiri. "Golf itu menuntut self government," kata sang juara pertandingan tahunan Independence Day yang berlangsung pada 14-17 Agustus 2014, di Pondok Indah.
Menduduki peringkat satu di Indonesia tak berarti ia tidak pernah merasakan kekalahan. "Yang jelek untuk apa diingat? Jika kalah ya cukup analisis di mana salahnya, dan latihan lagi," ucap pegolf yang sudah bermain di sembilan turnamen sepanjang 2014 ini.
Sepertinya, golf tak mungkin dipisahkan dari sosok George. Olahraga ini turut membentuk karakternya saat ini.
Golf adalah permainan yang bergantung pada individu sang pemain. Ketika olahraga lain membutuhkan kerja sama tim, golf tidak. "Yang dihadapi pegolf hanya lapangan golf. Itulah yang harus ditaklukkan," ucap George.
Olahraga ini juga tak memiliki batas siapa pemainnya. "Golf itu bisa dimainkan siapa saja. Juga untuk orang asia yang memiliki postur lebih kecil dibanding Eropa dan Amerika. Jangan berkecil hati. Pasti bisa" ujarnya berpesan sembari mengakhiri obrolan.