Jakarta, CNN Indonesia -- Regulasi poin ganda yang diterapkan Formula 1 (F1) musim ini kemungkinan besar akan membuat balapan terakhir di GP Abu Dhabi akan berlangsung menarik. Persaingan dua pembalap Mercedes, Lewis Hamilton dan Nico Rosberg, akan semakin memanas karena sistem poin ganda.
Dengan sistem ini, pebalap akan dihadiahi poin dua kali lipat dari balapan biasanya, Misalnya saja juara satu. Jika pada seri-seri lain ia akan mendapatkan poin 25, maka dengan poin ganda akan meraih poin
Penerapan poin ganda diharapkan Federasi Balap Mobil Internasional (FIA) bisa membuat persaingan di ajang F1 berlangsung panas hingga akhir musim. FIA tidak ingin keberhasilan Sebastian Vettel merebut gelar juara dunia 2013, saat masih meyisakan tiga seri, terulang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika poin ganda diterapkan musim lalu, maka sistem itu tidak akan mempengaruhi sukses Vettel merebut gelar juara dunia. Namun, ada sejumlah musim yang juara dunianya akan berbeda jika menggunakan sistem poin ganda.
Berikut ini adalah lima contoh musim F1 yang akan memiliki juara dunia berbeda jika menggunakan sistem poin ganda:
1. 1953F1 musim 1953 merupakan contoh berbahaya jika poin ganda diterapkan di seri terakhir. Ketika itu pebalap Ferrari, Alberto Ascari, tampil mendominasi sepanjang musim dengan lima kemenangan. Di akhir musim, Ascari berhasil mengoleksi 34,5 poin, unggul 6,5 poin atas pebalap Maserati, Juan Manuel Fangio.
Tapi, kegagalan menyelesaikan balapan di Sirkuit Monza (GP Italia), akan membuat Ascari kehilangan gelar juara dunia 1953 jika poin ganda diterapkan. Fangio, yang menjadi juara di Monza, akan menyalip Ascari di akhir musim. Jika nilai ganda digunakan, maka Fangio akan meraih 37 poin dan Ascari 34,5 poin.
2. 1984Salah satu musim terketat sepanjang sejarah F1. Di akhir musim, pebalap McLaren, Niki Lauda (72 poin), hanya unggul setengah poin atas rekan setimnya, Alain Prost (71,5 poin). Selisih setengah poin di musim 1984 hingga kini masih tercatat sebagai margin terkecil persaingan F1.
Jika poin ganda diterapkan, maka Prost yang akan menjadi juara dunia. Ketika itu, Prost berhasil memenangi GP Portugal di Sirkuit Estoril pada akhir musim, sedangkan Lauda finish di posisi kedua. Jika menggunakan poin ganda, maka Prost akan mengoleksi 80,5 poin dan Lauda 78 poin.
3. 2003Legenda balap F1, Michael Schumacher, sempat mengalami kesulitan di seri terakhir musim 2003, GP Jepang, sebelum akhirnya merebut gelar juara dunia. Schumacher hanya mampu finish di posisi delapan setelah memulai balapan dari posisi 14.
Jika menggunakan poin ganda, maka gelar juara dunia F1 2003 akan menjadi milik pebalap McLaren, Kimi Raikkonen, yang finish di posisi kedua di GP Jepang. Poin ganda akan membuat Raikkonen (99 poin) mengungguli Schumacher (94 poin) di akhir musim. Sedangkan klasemen sesungguhnya Schumacher berada di puncak dengan 93 poin, disusul Raikkonen dengan 91 poin.
4. 2008Lewis Hamilton tidak akan menjadi juara dunia F1 2008 jika poin ganda diterapkan. Pebalap asal Inggris itu tetap menjadi juara dunia dengan torehan 98 poin meski hanya menduduki posisi kelima pada seri terakhir di GP Brasil. Hamilton hanya unggul satu poin dari pebalap Ferrari, Felipe Massa, di akhir musim.
Jika menggunakan poin ganda, maka Massa akan memuncaki klasemen akhir dengan 107 poin. Sedangkan Hamilton hanya berada di posisi kedua dengan 102 poin.
5. 2012Keunggulan tiga poin atas Fernando Alonso (278 poin) cukup bagi Sebastian Vettel (281) meraih gelar juara dunia F1 ketiga beruntun pada musim 2012. Padahal Vettel sempat kesulitan pada seri terakhir di GP Brasil, dengan hanya finish di posisi keenam.
Andai poin ganda digunakan, Alonso, yang finish posisi kedua, akan mendapatkan 36 poin di seri terakhir. Jika itu yang terjadi, maka pebalap asal Spanyol tersebut akan mengoleksi 296 poin dan menjadi juara dunia. Sementara Vettel harus puas menjadi runner-up setelah hanya mendapatkan 289 poin.