MANAJEMEN KLUB BOLA

Ajax Amsterdam yang Tak Bisa Apa-Apa di Eropa

Vriana Indriasari | CNN Indonesia
Rabu, 21 Jan 2015 07:53 WIB
Klub dengan jersey oranye yang pernah merajai panggung sepak bola Eropa ini kini tak lagi mampu mengangkat dagunya di kancah kompetisi Eropa.
Klub dengan jersey oranye yang pernah merajai panggung sepak bola Eropa ini kini tak lagi mampu mengangkat dagunya di kancah rumput hijau benua biru. (Getty Images/Central Press)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ajax, tokoh prajurit terkuat di dunia yang tutup usia karena bunuh diri, bukan takluk dalam pertarungan.

Kekuatannya mengilhami nama klub yang dibentuk trio Floris Stempel, Carel Reeser, dan Han Dade, pada 18 Maret 1900, yaitu Ajax Amsterdam.

Ajax Menuju Kesuksesan

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hampir dua dekade lamanya Ajax hanya berkutat di Divisi II Belanda. Pada 1917, akhirnya De Amsterdammers merebut trofi mayor pertama dengan menjuarai KNVB-Beker.

Kejayaan Ajax terus merangkak naik ke level tertinggi menyusul penunjukkan Rinus Michels sebagai pelatih, sosok yang berhasil memunculkan nama sang pemain jenius, Johan Cruyff.

Cruyff merupakan lulusan akademi klub pada pertengahan era 1960-an, dan mampu menerjemahkan ajaran Michels dengan baik, total football, satu filosofi permainan yang mampu merevolusi dunia taktik sepak bola.

Di kemudian hari, ketika Cruyff pindah ke Barca, ia pun menyebarkan virus total football yang kemudian menjadi dasar gaya permainan salah satu klub terbaik Eropa dekade ini, Barcelona.

Michels sendiri memimpin Johan Cruyff cs berlaga di Piala Dunia Jerman Barat dengan hasil mengesankan. Oranye melaju mulus dan secara mengejutkan mereka mampu menundukkan Argentina dan Brasil meski akhirnya takluk dari Jerman dengan skor 2-1.

Nama total football yang diusung Michels pun makin berkibar.

Dengan konsep itu, Michels memimpin Ajax merajai kompetisi Belanda dengan mengantongi gelar pada 1966, 1967, 1968, dan 1970. Ajax juga berkibar di level Eropa dan Piala Eropa (kini Liga Champions) di Madrid 1969 meski hanya sebagai juara dua. Saat itu, Ajax harus mengakui keunggulan Milan 4-1.

Namun, dua tahun kemudian, Ajax berhasil mengangkat trofi paling bergengsi di Eropa untuk kali pertama.

Setelah itu, Michels hengkang ke Barcelona. Sang suksesor, Stefan Kovacs, tetap mempertahankan total football. Ajax terus merebut gelar Piala Champions pada 1972 dan 1973.

Hanya Jadi Raja Belanda

Usai kemenangan pada 1973, Ajax kembali terpuruk secara prestasi. Oranye baru bangkit kembali pada 1995 dengan meraih juara Liga Champions lewat gol tunggal Patrick Kluivert ke gawang AC Milan.

Meski menjadi salah satu pabrikan pemain andal, Ajax menjalani keterpurukan sejak kemenangan pada 1995 itu.

Mampu menghasilkan €44 juta hasil penjualan Ryan Babel ke Liverpool, dan Wesley Sneijder ke Real Madrid, Ajax terus mengalami perubahan skuat.

Beberapa musim ke depannya, pemain andalan Ajax berbondong-bondong angkat kaki.

Sebut saja Clarence Seedorf pada 1995, Edgar Davids, Michael Reiziger, Nwankwo Kanu, Finidi George (1996), Patrick Kluivert, Winston Bogarde, dan Marc Overmars (1997), Ronald de Boer dan Frank de Boer (1998); Jari Litmanen, dan terakhir Edwin van der Sar pada 1999.

Meski demikian, sistem pembinaan mereka terus melahirkan pemain-pemain berbakat dari dalam maupun luar Belanda. Ajax terus mengekspor para pemain terbaiknya seperti Marco van Basten, Dennis Bergkamp, hingga Patrick Kluivert.

Tapi di tingkat Eropa Ajax semakin tertinggal dari klub-klub raksasa lainnya. Nama mentereng Ajax di 1970-an, kini kalah gemerlap dengan Bayern Munich, Barcelona, Real Madrid, Chelsea atau bahkan Manchester City.

Ajax yang mantan raja Eropa dan peletak dasar filosofi total football itu kini hanya menjadi pengekspor pemain muda berbakat ke seluruh Eropa.

Meski pola permainannya pada 1970-an terus diingat pecinta sepak bola orang sepanjang masa, Ajax kini tak lagi menjadi raja. (vri/vri)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER