Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti musim sebelumnya, Liverpool menjalani musim panas sebagai salah satu klub tersibuk di Inggris. Bukan hanya menjalani tur musim panas di berbagai negara Asia, Liverpool pun, setidaknya hingga saat ini, terlihat menjadi klub paling aktif di bursa transfer.
Enam pemain telah didatangkan, sementara sang manajer, Brendan Rodgers, juga masih berburu satu orang penyerang lagi. Di sisi keping lain dunia transfer, The Reds juga tak kalah aktif. Pemain-pemain yang didatangkan musim lalu namun telah dianggap gagal mulai ditawarkan ke berbagai klub.
Nama-nama seperti Rickie Lambert, Mario Balotelli, atau Javier Manquillo tampaknya harus berbesar hati jika mereka tak lagi mengenakan seragam Liverpool musim depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keaktifan Si Merah di bursa transfer sebenarnya bukan hal baru selama Brendan Rodgers menjadi pelatih. Jika menilik data dari Transfermarkt, selama tiga musim mengarsiteki Liverpool, Rodgers telah menghabiskan 134,01 juta euro untuk belanja pemain.
Jumlah itu akan semakin bertambah dengan pembelian para pemain baru seperti Roberto Firmino atau Nathaniel Clyne. Bursa transfer memang baru dimulai secara resmi pada 1 Juli, sehingga total 35,75 juta euro untuk mendatangkan enam pemain --empat di antaranya dengan status bebas transfer-- baru resmi dihitung dua hari lagi.
Sedangkan satu-satunya penjualan yang telah resmi dilakukan Liverpool musim ini hanyalah penjualan Iago Aspas dengan harga 6 juta euro.
Jika melihat nilai di atas, selama menduduki kursi manajer di klub Merseyside itu, Rodgers kira-kira telah membuat pemilik saham terbesar Liverpool, Fenway Sports Group (FSG), telah merogoh kocek sebesar 163,76 juta euro (net).
Jumlah tersebut lebih besar dari aktivitas belanja juara Liga Primer Inggris musim lalu, Chelsea, yang "hanya" mengeluarkan 123,67 juta euro dalam kurun waktu yang sama (menjadi 117,17 juta euro jika aktivitas transfer musim panas ini dihitung).
Namun, berbeda dari Liverpool, selama tiga musim terakhir The Blues mampu merebut tiga trofi (Liga Eropa 2012/13, Piala Liga 2014/15, dan Liga Primer 2014/15), sedangkan Liverpool harus puasa gelar dalam tiga tahun terakhir.
Memang, tingginya total transfer tidak serta merta menjadikan satu klub mendapatkan banyak piala. Misalnya saja Setan Merah yang telah menggelontorkan 284 juta euro dalam tiga tahun terakhir (telah meningkat menjadi 312,12 juta euro dengan kedatangan Memphis Depay). Meski sempat menggondol gelar Liga Primer pada 2012/13 lalu, prestasi United saat ini mungkin belum memuaskan.
Lantas apa yang salah di Liverpool? Mengapa klub yang pernah membanggakan sejarah panjang prestasi dan dominasi mereka di Liga Primer Inggris itu kini terancam menuju status medioker? Dari semula klub yang menjadi pesaing Chelsea, Manchester City, Arsenal, maupun Manchester United, kini menjadi pesaing Tottenham Hotspur, Swansea City, Everton, atau Southampton dalam persaingan menuju Liga Eropa.
Mesti diakui, aktivitas transfer Rodgers belum membuahkan apa-apa selain kekecewaan bagi para pendukungnya, salah satu faktor yang turut membuat nama The Reds meredup salama tiga tahun terakhir.
'Money Ball'FSG datang ke Liverpool bukan hanya membawa pundi-pundi uang, namun konsep manajemen klub bertajuk Moneyball. Prinsip yang semula berkembang di dunia bisbol ini berusaha mencari pemain-pemain yang mungkin tidak terlalu sering terdengar di media, namun sebenarnya secara data atau statistik memiliki kemampuan yang tak jauh berbeda.
Prinsip ini digunakan terutama untuk mendapatkan pemain dengan nilai transfer atau gaji tidak terlalu mahal, namun masih mampu membawa kesuksesan.
Itulah yang menjadi dasar pembelian pemain-pemain muda maupun pemain-pemain yang sudah tidak dilirik klub lain oleh Liverpool.
Philippe Coutinho, misalnya. Ketika direkrut Liverpool, pemain asal Brasil itu kesulitan menunjukkan kebolehannya di Inter Milan, sehingga The Reds mendapatkan tandatangannya dengan harga yang relatif murah: 10 juta euro.
Hal itulah yang terus dilakukan Liverpool di era Rodgers, membeli pemain-pemain yang mungkin tak dilirik klub lain tetapi secara statistik akan membawa hasil positif.
Namun prinsip 'money ball' dengan mendatangkan pemain-pemain lokal atau berinvestasi pada pemain muda ini pada kenyataannya belum membuahkan hasil positif di sisi prestasi bagi The Reds.
Untuk setiap Coutinho yang menjadi cerita sukses, ada kisah tentang Rickie Lambert yang tidak bisa memberikan banyak kontribusi, meski hanya menjadi pemain cadangan.
Tak berhenti di implementasi 'money ball' yang tak berjalan mulus, salah satu masalah lain dalam kebijakan transfer Liverpool di era Rodgers adalah kebiasaannya untuk menjadi pemain yang mampu bermain di berbagai posisi.
 Roberto Firmino menjadi pemain termahal Liverpool di bursa transfer musim panas 2015. (REUTERS/Ricardo Moraes) |
Pemain-Pemain Serba BisaDalam tiga musim terakhir, selain memiliki kebiasaan untuk mencari talenta-talenta domestik di liga lokal, Liverpool juga memiliki kecenderungan untuk merekrut pemain yang mampu bermain di berbagai posisi.
Coutinho sempat bermain sebagai sayap kiri sebelum menjadi kreator di lapangan tengah Liverpool. Adam Lallana seringkali menjalani peran berbeda-beda di lini tengah The Reds. Emre Can yang merupakan gelandang bertahan rutin tampil di lini belakang Liverpool. Bahkan Lazar Markovic? Dari semula gelandang serang mampu disulap menjadi bek sayap oleh Rodgers.
Dua pemain anyar Liverpool di musim panas ini seperti Roberto Firmino ataupun James Milner juga dikenal sebagai pemain-pemain yang serba bisa, tipe pemain yang selalu menjadi anak emas di bawah asuhan Rodgers.
Sedangkan pemain yang tak mampu beradaptasi dengan posisi baru akan tersingkir ke bangku cadangan, seperti yang terjadi dalam kasus bek sayap pinjaman dari Atletico Madrid, Javier Manquillo.
Memulai kariernya di Anfield dengan cukup meyakinkan, nama Manquillo kini jarang menghiasi susunan pemain Liverpool. Bahkan pihak Anfield saat ini mempertimbangkan untuk mengakhiri masa pinjaman pemain asal Spanyol tersebut, yang semula selama dua musim.
Perubahan taktik empat pemain bertahan menjadi tiga pemain bertahan otomatis membuat Manquillo harus berevolusi menjadi bek sayap, posisi yang gagal dijalankannya dengan baik, sehingga ia kini hanya penghangat bangku cadangan.
Sepintas, kemampuan mayoritas pemain Liverpool untuk bermain di berbagai posisi mungkin memberikan keuntungan dari segi taktik bagi Rodgers. Namun tak jarang, para pemain seperti kehilangan arah karena tak mampu menemukan posisi yang tepat untuk mereka.
Tak hanya itu, beberapa kali perubahan taktik yang dilakukan Rodgers juga membuat permainan Liverpool seperti kehilangan arah dalam beberapa pertandingan.
Dari 4-4-2 berlian, menjadi 4-2-3-1, kemudian 4-3-2-1, hingga 3-5-2, Liverpool telah beberapa kali mengganti formasi, baik ketika badai cedera menghampiri, performa tim menurun, atau saat tim lawan berhasil menemukan celah dalam taktik Rodgers.
Memang seorang manajer perlu mempersiapkan "rencana B", "rencana C", dan berbagai rencana lainnya jika "rencana A" miliknya tak berjalan dengan baik.
Tetapi apa sebenarnya "rencana A" Liverpool? Jawaban yang hanya dimiliki oleh sosok Rodgers, namun sejauh ini tampaknya belum bisa terlihat maksimal dalam permainan Liverpool.
Tanpa konsistensi taktik dan para pemain yang rutin memainkan satu posisi, Liverpool akan terus bergulat dengan inkonsistensi permainan yang terus melekat dalam diri mereka selama beberapa tahun ini.
 Meski seorang gelandang bertahan, di bawah Brendan Rodgers seorang Emre Can menjadi bek tengah (Reuters/Phil Noble) |
Beban Berat Awal MusimMelihat jadwal pertandingan tandang awal musim Liverpool, tekanan akan semakin mengarah ke pundak Rodgers, yang pada musim panas ini mungkin merasa gerah dengan slogan "Klopp for The Kop".
Ya, nama Juergen Klopp memang seringkali dihubung-hubungkan dengan kubu Anfield, terlebih manajer asal Jerman itu kini sedang menganggur.
Dengan adanya tekanan dari suporter, serta jadwal pertandingan tandang yang tidak memihak Rodgers, manajer asal Irlandia Utara ini mungkin akan kembali bereksperimen dengan taktiknya jika beberapa pertandingan awal musim ini tidak berjalan sesuai dengan keinginan.
Jika perubahan taktik kembali dilakukan, para pemain Liverpool mungkin harus kembali beradaptasi dengan posisi yang berbeda-beda lagi, membuat para pemain baru yang masih dalam tahap adaptasi akan semakin kesulitan menemukan jati diri mereka di Anfield.
Di saat yang berbeda, rotasi dan juga berbagai kemungkinan formasi dalam skuat Liverpool mungkin akan menjadi keuntungan dan sisi positif bagi arsitek The Reds.
Namun, jika tidak hati-hati, berbagai opsi taktik hingga banyaknya pemain serba bisa dalam skuatnya saat ini layaknya sebuah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu jika ia salah melangkah.
(vws)