Dika Dania Kardi
Dika Dania Kardi
Lulusan Ilmu Jurnalistik di Universitas Padjadjaran. Mengawali karier wartawan profesional bersama surat kabar Media Indonesia. Kini menjadi jurnalis untuk CNN Indonesia.

Ada Apa dengan China?

Dika Dania Kardi | CNN Indonesia
Jumat, 26 Feb 2016 16:31 WIB
Liga Super China mengagetkan dunia dengan menggelontorkan banyak uang untuk membeli pemain mahal. Apa motif di balik keputusan itu?
Ilustrasi Liga Super China. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pecahkan saja gelasnya biar ramai,
biar mengaduh sampai gaduh,
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih,
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya biar terdera

Empat baris di atas adalah penggalan puisi fenomenal di kalangan kawula muda Indonesia dekade 2000an. Puisi itu ada dalam adegan film drama remaja, Ada Apa Dengan Cinta? (2002). Film itu menjadi salah satu penghentak bagi kebangkitan industri film Indonesia yang sempat mati suri.

Namun, yang akan saya tulis bukan tentang film yang sekuelnya dibuat lagi pada tahun ini. Saya akan menulis tentang China yang telah membuat gaduh sepak bola dunia saat bursa transfer musim dingin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jendela transfer di China baru berakhir pada 26 Februari 2016, satu bulan lebih lama dibandingkan jendela transfer di liga-liga besar Eropa. Hal itu memberi keuntungan bagi China untuk memburu pemain yang semula jadi perhatian global karena jadi buruan tim-tim elite.

China telah memecahkan rekor harga untuk transfer di musim dingin 2016. Tengok saja, situs Transfermarkt.com.

Sebanyak empat dari lima peringkat pemain yang dibeli dengan harga temahal itu tak keluar dari kocek klub-klub besar Eropa. Tim-tim yang merogoh kocek terbesar untuk mendapatkan pemain bintang adalah tim-tim yang berasal dari Liga Super China (CSL).

Pemain termahal dunia di bursa transfer musim dingin ini adalah Alex Teixeira. Pria 26 tahun itu sempat diminati klub kaya asal Inggris, Liverpool. Namun, tanda tangan Teixeira justru mendarat di atas kontrak klub Jiangsu Suning. Klub China itu mendaratkan penyerang asal Brasil itu dari klub Ukraina, Shakhtar Donetsk dengan mahar hingga 50 juta euro.

Dua pemain mahal lainnya yang harganya di bawah Teixeira adalah Jackson Martinez (29) yang dibeli Guangzhou Evergrande dari Atletico Madrid dengan harga 42 juta euro, serta Ramires (28) yang dibeli Suning dari Chelsea dengan harga 28 juta euro.

Selain tiga pemain itu, bintang-bintang sepak bola di Eropa yang sedang dalam usia produktif pun seperti Ezequiel Lavezzi (PSG), Gervinho (AS Roma), Freddy Guarin (Internazionale), dan Demba Ba (Besiktas) memilih hijrah ke China. Mereka meninggalkan gemerlapnya kompetisi sepak bola Eropa dan memilih mencari uang serta mengukir prestasi di negara Tirai Bambu.

Bukan hanya pemain, China juga mengimpor pelatih-pelatih top dunia seperti Luiz Felipe Scolari (Guangzhou Evergrande) dan Sven Goran Eriksson (Shanghai SPIG) yang masih bertugas saat ini.

“Saya beruntung. Saya di Italia saat dekade 1990, ketika para pemain ingin pergi ke Italia karena tergiur uang di sana dan [kompetisi] sepak bola sangat, sangat bagus. Kemudian pada dekade 2000an, Liga Primer Inggris, semua pemain ingin pergi ke sana. Sekarang 2016, sepertinya para pemain ingin datang ke China,” ujar Eriksson seperti saya kutip dari Reuters.

Pelatih asal Swedia tersebut pernah mengantar Lazio jadi juara Serie A Italia, dan juga menukangi timnas Inggris serta tim Manchester City.

Pembelian pemain-pemain dunia dengan harga selangit, mendatangkan pelatih top, itu menunjukkan keseriusan China dalam mengembangkan kompetisi sepak bola di negara tersebut. Apa yang dilakukan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat dengan Major League Soccer ataupun kompetisi sepak bola di negara-negara Timur Tengah yang menyediakan gaji besar bagi pemain.

Baik MLS maupun kompetisi di negara-negara Timur Tengah selama ini menjadi tujuan pemain terbuang, atau pemain veteran yang masih ingin mendapatkan uang berlimpah dari permainan sepak bola serta menikmati hidup.

MLS, sejak mendatangkan David Beckham pada medio 2000-an, memang sukses mendatangkan sejumlah pemain bintang dari Eropa. Terakhir, pada tahun lalu Frank Lampard dan Steven Gerrard yang telah memasuki usia veteran dan tak diperpanjang lagi kontraknya oleh klub yang membesarkan namanya, Chelsea dan Liverpool.

Mungkin saja di akhir musim ini, John Terry, Francesco Totti, ataupun Iker Casillas yang tak terpakai lagi di klub akan menyusul ke MLS untuk menikmati hidup berlibur di negara Paman Sam serta mendapatkan bayaran yang masih hampir seimbang dengan di Eropa.

Ramires berlatih dengan klub barunya di Liga Super China. (REUTERS/Stringer)
Mencengkeram Dunia

Dalam percaturan politik intenasional dikenal istilah soft power yang dinisbahkan dalam diplomasi publik. Diplomasi publik ini di antaranya lewat kebudayaan, olahraga, hingga pendidikan.

Joseph Nye, dalam bukunya Soft Power: The Means to Succes in World Politics (2004), mengangkat tentang soft power sebagai kemampuan suatu negara menanamkan pengaruh untuk menarik dan meyakinkan tanpa melalui pemaksaan kekuatan militer.

Dalam hal olahraga, Amerika Serikat, telah membuktikan teori tersebut di antaranya lewat olahraga basket. Saat ini, bicara tentang basket, maka pembicaraan adalah tentang NBA. Tak ada yang lain.

Lain halnya dengan sepak bola yang masih bisa diperebutkan negara-negara lain. Kedigdayaan olahraga sepak bola, apalagi kompetisi domestik dapat berimbas pada ekonomi politik negara tersebut, walaupun dalam hukum FIFA melibatkan politik itu hukumnya haram di lapangan hijau.

Namun, sepak bola tak lepas dari politik serupa pula yang terjadi di Indonesia, termasuk China. China yang berambisi mencengkeram dunia, kini merambah sepak bola selain ekonomi. Bahkan, Presiden China Xi Jinping meluncurkan 50 butir rencana untuk membangkitkan sepak bola negara tersebut. Tujuan utamanya yang terlihat dalam salah satu butir itu adalah mengantar China berbicara lantang di akhir putaran final Piala Dunia 2022.

Xi Jinping yang menggemari klub sepak bola Manchester United itu pun sampai harus terbang ke Inggris untuk berkunjung ke rival sekota tim kesayangannya yang dimiliki hartawan Timur Tengah, Manchester City. Kekuatan ideologi China untuk mencengkeram dunia pun mulai dikembangkan lewat olahraga.

Dalam pergaulan internasional yang kompleks saat ini, kebijakan luar negeri tak lagi dikendalikan aktor pemerintah secara langsung semata, namun ditambah aktor-aktor lain yang tugas dan tanggung jawabnya jelas seperti pengusaha pemilik klub olahraga dan juga para olahragawan.

Jadi, jangan tanyakan Ada Apa Dengan China karena rekor yang tercipta dalam bursa transfer pemain global. (vws)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER